Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 34 secara jelas menyebutkan bahwa Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Hal ini menunjukkan bahwa sejak negara ini berdiri sudah memiliki perhatian yang begitu tinggi terhadap fakir miskin dan anak-anak terlantar. Idealnya regulasi terkait hal ini mendapatkan prioritas utama sehingga tanggung jawab negara terhadap fakir miskin dan anak-anak terlantar dapat direalisasikan.
Setelah 66 tahun merdeka, Indonesia baru memiliki kebijakan tentang penanganan fakir miskin dengan disyahkannya Undang-Undang No.13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin. Dengan demikian, sesuai ketentuan UUD NRI Tahun 1945, negara bertanggung jawab untuk menangani fakir miskin guna memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kemanusiaan.
Secara defenitif, UU No. 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin menyebutkan Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya.
Walaupun Undang-Undang sudah menyebutkan istilah fakir miskin, namun Badan Pusat Statistik (BPS) sejauh ini belum merilis berapa jumlah fakir miskin secara nasional. Artinya, istilah yang digunakan saat ini oleh BPS adalah jumlah penduduk miskin. Untuk itu, pemerintah perlu memunculkan numenklatur baru terkait fakir miskin sesuai dengan amanat UU No.13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin.
UU No. 13 tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin pasal Pasal 28 (e) menyatakan dalam pelaksanaan penanganan fakir miskin, Pemerintah bertugas menyusun dan menyediakan basis data fakir miskin. Data yang benar akan menentukan keberhasilan program Persoalan data ini mendapat perhatian serius dari Bank Dunia. Bahkan, Guru Besar Ekonomi Asia dari School of Oriental and African Studies, Anne Booth dalam presentasinya berjudul Poverty and Inequality in Indonesia—From Soeharto to Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan ada 13,3 persen rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sedangkan Badan Pusat Statistik menerbitkan data kemiskinan berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), yang menyebutkan kemiskinan berkurang dari 11,66 persen pada tahun 2012 menjadi 11,3 persen pada tahun 2013.
Untuk itu, pendataan perlu mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah. Jelas, pendataan ini menyangkut rakyat yang berhak mendapatkan perlindungan dan jaminan dari negara. Dengan demikian akan meminimalisir persoalan tumpang tindihnya program. Regulasi sudah ditetapkan, maka implementasinya harus disesuaikan dengan kebijakan yang sudah ada. Dengan demikian ada kepastian langkah di dalam menunaikan kawajiban negara kepada fakir miskin.
Ketika pemerintah, swasta, lembaga sosial kemanusiaan dan lemabag pengelola zakat yang menangani fakir miskin memiliki dan menggunakan basis data yang sama, maka tentu tidak akan terjadi tumpang tindih mengenai sasaran program. Namun sebaliknya, ketika setiap pihak memiliki basis data sendiri dan terpisah, maka program-program yang digulirkan menjadi tidak tepat sasaran. Bahkan, setiap pihak akan selalu dan selalu mencari dan membuat basis data masing-masing sehingga program menjadi tidak efektif.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah penduduk miskin tahun 2015 sebanyak 28,59 juta jiwa. Ini berarti terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin bila dibandingan dengan kondisi tahun 2014 yakni sebanyak 27,73 juta jiwa tahun 2014. Terjadinya peningkatan jumlah penduduk miskin merupakan warning bagi pemerintah untuk memberikan perhatian serius terhadap program-program penanganan fakir miskin.
Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia masih dihadapkan pada permasalahan kemiskinan. Padahal berbagai regulasi telah berhasil dirumuskan. Berbagai program pengentasan kemiskinan terus digulirkan baik oleh pemerintah, swasta, lembaga sosial kemanusiaan dan lembaga pengelola zakat. Berbagai peran dan instrumen yang dilaksanakan mestinya bisa efektif mengatasi inti permasalahan kemiskinan. Salah satu permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian adalah mengenai basis data fakir miskin.
Efektifitas Program
Sebagai ilustrasi, berdasarkan penelitian yang dlakukan Indah Gustina (2008) menyatakan bahwa upaya penanggulangan kemiskinan selama ini, sesungguhnya tidaklah kurang. Berbagai program kemiskinan, yang didukung berbagai donor dengan framework masing-masing, telah menyemarakkan program-program berbasis pemberdayaan masyarakat.
Selai itu, penelitian yang dilakukan LIPI pada 2000-2004 menyebutkan setiap kenaikan 1 persen anggaran mampu menurunkan tingkat kemiskinan sekitar 0,4 persen sedangkan pada 2005-2009 kemampuan fiskal tersebut hanya 0,06 persen. Temuan LIPI tersebut didasarkan kepada kenaikan anggaran untuk pengentasan kemiskinan sebesar 394 persen dalam kurun waktu 2000-2009 dari sekitar Rp18 triliun menjadi sekitar Rp71 triliun. Adapun, tingkat kemiskinan berkurang dari 19,1 persen pada 2000 menjadi 14,2 persen pada 2009. Hal ini menjadi salah satu indikasi tidak efektifnya anggaran tersebut, walaupun setiap tahunnya meningkat.
Bandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan Irfan Syauqi Beik (2009) yang menunjukkan bahwa zakat mampu mengurangi jumlah keluarga miskin dari 84 persen menjadi 74 persen. Kemudian dari aspek kedalaman kemiskinan, zakat juga terbukti mampu mengurangi kesenjangan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, yang diindikasikan oleh penurunan nilai P1 dari Rp 540.657,01 menjadi Rp 410.337,06 dan nilai I dari 0,43 menjadi 0,33. Sedangkan ditinjau dari tingkat keparahan kemiskinan, zakat juga mampu mengurangi tingkat keparahan kemiskinan yang ditandai dengan penurunan nilai Indeks Sen (P2) dari 0,46 menjadi 0,33 dan nilai indeks FGT dari 0,19 menjadi 0,11.
Salah satu solusi dalam penanganan fakir miskin adalah melalui pemberdayaan masyarakat. Strategi pemberdayaan masyarakat (community development) bertujuan untuk mendorong penduduk miskin untuk secara kolektif terlibat dalam proses pengambilan keputusan termasuk menanggulangi kemiskinan yang mereka alami sendiri. Masyarakat miskin bukan sebagai objek melainkan subjek. Keberdayaan penduduk miskin ditandai dengan semakin bertambahnya kesempatan kerja yang diciptakan sendiri oleh penduduk miskin secara kolektif dan pada gilirannya akan memberikan tambahan penghasilan, meringankan beban konsumsi, serta meningkatkan nilai simpanan/ asset keluarga miskin. Keberdayaan penduduk miskin juga ditandai dengan semakin meningkatnya kapasitas penduduk miskin secara kolektif dalam mengelola organisasi pembangunan secara mandiri. (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto 2008:22)
Untuk itu, diperlukan sinergi, koordinasi dan integrasi berbagai program yang ada di berbagai Kementerian dan Lembaga agar upaya penanganan fakir miskin ini bisa berhasil. Apalagi penanganan fakir miskin di tanah air sudah memiliki landasan dasar yang kuat yakni: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kemudian secara rinci sudah dijabarkan dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin dan Undang-Undang No.23 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Zakat Undang-Undang Dasar. Dengan demikian saudara-saudara kita yang masih dalam kodisi fakir miskin bisa bangkit dan dapat berkontribusi besar dalam memajukan bangsa ini. Wallahua’lam.
Efri Syamsul Bahri, Kepala Unit Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat STEI SEBI, Depok.