Kemiskinan merupakan tantangan utama pembangunan di negara-negara dunia ketiga. Termasuk Indonesia. Tentu harus segera diatasi, terutama oleh pemerintah. Melalui berbagai agenda strategis pembangunan. Ketika persoalan kemiskinan ini tidak terjawab, akan menimbulkan berbagai dampak negatif.
Pemerintah telah melakukan upaya pengentasan kemiskinan, sejak tahun 1970-an hingga sekarang. Namun, belum mampu mencapai angka yang signifikan. Tahun 2001, 40 juta jiwa penduduk Indonesia masih di bawah garis kemisninan. Kondisi ini menjadi salah satu faktor melemahnya daya saing nasional terhadap dunia internasional. Yang berujung pada turunnya harga diri individu dan bangsa Indonesia. (Kusumah, 2008:187)
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, jumlah penduduk miskin tahun 2015 sebanyak 28,59 juta jiwa. Ini berarti terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin bila dibandingan dengan kondisi tahun 2014, yakni sebanyak 27,73 juta jiwa. Terjadinya peningkatan jumlah penduduk miskin merupakan warning bagi pemerintah untuk memberikan perhatian serius terhadap program-program penanganan fakir miskin.
Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia masih dihadapkan pada permasalahan kemiskinan. Padahal berbagai regulasi telah dirumuskan. Banyak program pengentasan kemiskinan terus digulirkan baik oleh pemerintah, swasta maupun lembaga sosial kemanusiaan. Namun apa daya, berbagai instrumen ini belum efektif mengatasi inti permasalahan kemiskinan. Salah satu permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian adalah mengenai basis data fakir miskin.
Sebagai ilustrasi, berdasarkan penelitian yang dlakukan Indah Gustina (2008) menyatakan bahwa upaya penanggulangan kemiskinan selama ini, sesungguhnya tidaklah kurang. Berbagai program kemiskinan, yang didukung berbagai donor dengan framework masing-masing, telah menyemarakkan program-program berbasis pemberdayaan masyarakat.
Namun, sangat disayangkan program-program tersebut kurang terkoordinasikan dengan baik. Sehingga hasil yang diharapkan belum maksimal. Bahkan, hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa terdapat hubungan yang rendah antara implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan (P2KP) dengan penurunan jumlah keluarga miskin di Kecamatan Medan Maimun, dengan koefisien korelasi yaitu 0,20092. Hubungan implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan (P2KP) terhadap penurunan jumlah keluarga miskin di Kecamatan Medan Maimun hanya sebesar 4, 0368%.
Bandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan Irfan Syauqi Beik (2009) yang menunjukkan bahwa zakat mampu mengurangi jumlah keluarga miskin dari 84 persen menjadi 74 persen. Kemudian dari aspek kedalaman kemiskinan, zakat juga terbukti mampu mengurangi kesenjangan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, yang diindikasikan oleh penurunan nilai P1 dari Rp 540.657,01 menjadi Rp 410.337,06 dan nilai I dari 0,43 menjadi 0,33.
Sedangkan ditinjau dari tingkat keparahan kemiskinan, zakat juga mampu mengurangi tingkat keparahan kemiskinan yang ditandai dengan penurunan nilai Indeks Sen (P2) dari 0,46 menjadi 0,33 dan nilai indeks FGT dari 0,19 menjadi 0,11.
Basis Data Terpadu
Secara sederhana, ketika pemerintah, swasta maupun lembaga sosial kemanusiaan yang menangani fakir miskin memiliki dan menggunakan basis data yang sama, maka tentu tidak akan terjadi tumpang tindih mengenai sasaran program. Namun sebaliknya, ketika setiap pihak memiliki basis data sendiri dan terpisah, maka program-program yang digulirkan menjadi tidak tepat sasaran. Bahkan, setiap pihak akan selalu dan selalu mencari dan membuat basis data masing-masing. Sehingga program menjai tidak efektif.
Basis data terpadu pernah diluncurkan oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Basis Data Terpadu digunakan untuk memperbaiki kualitas penetapan sasaran program-program perlindungan sosial. Namun, keberadaan TNP2K ini tidak mendapatkan dukungan yang kuat. (Gatra, 21 June 2012) Semestinya dengan adanya Undang-Undang No 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, maka persoalan ini bisa diatasi.
Dalam konteks regulasi, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara bertanggung jawab untuk memelihara fakir miskin guna memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kemanusiaan. Selanjutnya di dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin secara tegas disebutkan bahwa Penanganan fakir miskin adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara.
Undang-Undang ini juga berhasil mengatur tentang hak fakir miskin sebagaimana tercantum pada pasal 3. Fakir miskin berhak: a. memperoleh kecukupan pangan, sandang, dan perumahan; b. memperoleh pelayanan kesehatan; c. memperoleh pendidikan yang dapat meningkatkan martabatnya; d. mendapatkan perlindungan sosial dalam membangun, mengembangkan, dan memberdayakan diri dan keluarganya sesuai dengan karakter budayanya; e. mendapatkan pelayanan sosial melalui jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan rehabilitasi sosial dalam membangun, mengembangkan, serta memberdayakan diri dan keluarganya; f. memperoleh derajat kehidupan yang layak; g. memperoleh lingkungan hidup yang sehat; h. meningkatkan kondisi kesejahteraan yang berkesinambungan; dan i. memperoleh pekerjaan dan kesempatan berusaha.
Terkait untuk penanganan ini dalam pasal 28 (f) disebutkan bahwa dalam pelaksanaan penanganan fakir miskin, Pemerintah bertugas mengalokasikan dana yang memadai dan mencukupi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk penyelenggaraan penanganan fakir miskin. Artinya, secara pendanaan, penanganan fakir miskin mendapatkan alokasi dana APBN yang memadai.
Penanganan fakir miskin juga mendapatkan dukungan dari dana zakat. Hal ini secara eksplisit disebutkan dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Zakat pada Pasal 27 ayat 1 bahwa Zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat.
Dengan demikian penanganan fakir miskin di tanah air sudah memiliki landasan dasar yang kuat yakni: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kemudian secara rinci sudah dijabarkan dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin dan Undang-Undang No.23 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Zakat Undang-Undang Dasar. Pertanyaannya adalah kenapa jumlah fakir miskin sebagaimana disebutkan BPS masih terdapat 28 juta jiwa atau 11,75 persen angka kemiskinan di Indonesia.
UU No. 13 tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin pasal Pasal 28 (e) menyatakan dalam pelaksanaan penanganan fakir miskin, Pemerintah bertugas menyusun dan menyediakan basis data fakir miskin. Sedangkan pada UU No.23 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Zakat tidak menyebutkan secara eksplisit tentang pendataan. Namun UU ini secara jelas menyebutkan bahwa penerima dana zakat atau dikenal dengan istilah mustahik, termasuk dalam kategori ini adalah fakir miskin.
Dengan demikian institusi yang menangani fakir miskin mesti memperkuat koordinasi dan sinergi sejak proses perencanaan pelaksanaan sampai pada tahap monitoring dan evaluasi program. Dalam semua tahapan ini tentu sangat terkait dengan persoalan data. Data yang benar akan menentukan keberhasilan program karena hal ini menggambarkan ketepatan sasaran program. Jadi ketika program sudah berbasis by name by address, maka sejak awal sudah bisa dikenali kondisi dan potensi yang dimiliki masyarakat yang tergolong fakir miskin.
Persoalan data ini mendapat perhatian serius dari Bank Dunia. Bahkan, Guru Besar Ekonomi Asia dari School of Oriental and African Studies, Anne Booth dalam presentasinya berjudul Poverty and Inequality in Indonesia—From Soeharto to Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan ada 13,3 persen rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sedangkan Badan Pusat Statistik menerbitkan data kemiskinan berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), yang menyebutkan kemiskinan berkurang dari 11,66 persen pada tahun 2012 menjadi 11,3 persen pada tahun 2013.
Untuk itu, pendataan perlu mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah. Jelas, pendataan ini menyangkut rakyat yang berhak mendapatkan perlindungan dan jaminan dari negara. Dengan demikian akan meminimalisir persoalan tumpang tindihnya program. Regulasi sudah ditetapkan, maka sesuaikanlah implementasinya dengan kebijakan yang sudah ada. Dengan demikian ada kepastian langkah di dalam menunaikan kawajiban negara kepada fakir miskin.
Inisiasi Pemberdayaan
Pemberdayaan berasal dari penerjemahan bahasa Inggeris “empowernment” yang juga dapat bermakna “pemberian kekuasaan” karena power bukan sekadar “daya”, tetapi juga “kekuasaan”, sehingga kata “daya” tidak saja bermakna “mampu”, tetapi juga “mempunyai kuasa”. (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 2008:1)
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai social. Pemberdayaan menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2008:1-7) adalah sebuah “proses menjadi”, bukan sebuah “proses instant”. Sebagai proses, pemberdayaan mempunyai tiga tahapan: penyadaran, pengkapasitasan dan pendayaan.
Bambang Rudito dkk (2003) dalam Effendie (2008:11) menyampaikan bahwa pengembangan masyarakat adalah kegiatan yang diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat untuk mencapai kondisi social ekonomi-budaya yang lebih baik, sehingga masyarakat lebih mandiri dengan kualitas kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik.
Sesungguhnya sudah banyak gerakan pemberdayaan yang diinisiasi masyarakat maupun pemerintah. Gerakan ini perlu terus digelorakan karena mampu menjadi solusi untuk Meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat. Sebagai contoh, Program Jakarta Green & Clean (Annual Report Unilever Indonesia, 2008). Unilever Indonesia memenangkan Cakram Award kategori Kampanye Non-Komersial Terbaik untuk Program Unilever Jakarta Green & Clean. Untuk menjangkau kelompok yang lebih luas, kami telah mengembangkan program ini tidak hanya di lingkungan tempat tinggal tetapi juga di tempat kerja dengan melakukan Jakarta Green Office sebagai langkah pertama.
Program Jakarta Green and Clean (Mohamad Fahmi Gendrawan, 2009) adalah salah satu wujud kepedulian perusahaan terhadap lingkungan, terutama yang berkaitan dengan permasalahan sampah. Dalam hal ini, perusahaan menyadari pengaruh pasca penggunaan produk perusahaan terhadap lingkungan. Pengelolaan sampah bertujuan untuk memperkecil masalah-masalah sampah terhadap lingkungan. Tujuan utama dari program pengelolaan sampah ini adalah untuk merubah perilaku masyarakat dalam mengelola sampah dan lingkungan setempat. Secara keseluruhan program Jakarta Green and Clean yang diselenggarakan di RW 13 Kelurahan Cipinang Melayu berhasil, artinya masyarakat mempunyai perubahan perilaku yang baik dan positif setelah adanya program baik itu pengetahuan, sikap dan tindakan.
Adalagi Gerakan Ciliwung Bersih dan Pengaruhnya Terhadap Kualitas Air dan Angka Kematian Bayi. Pemanfaatan sungai Ciliwung sebagai Daerah aliran Sungai untuk berbagai keperluan bagi penduduk Jakarta memiliki arti yang sangat penting. Gerakan Ciliwung Bersih merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas air sungai Ciliwung. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai Gerakan Ciliwung Bersih terutama pengaruhnya terhadap kualitas air dan Angka Kematian Bayi. Secara khusus diharapkan diperoleh informasi kualitas bakteriologis air bersih yang digunakan penduduk, mengetahui Angka Kematian Bayi, serta diketahuinya hubungan antara kualitas bakteriologis air bersih dan air sungai Ciliwung dengan Angka Kematian Bayi.
Pada akhirnya akan memperoleh gambaran karakteristik demografi dan sosial budaya penduduk, penyediaan dan pemanfaatan MCK, serta sarana pembuangan limbah dalam kurun waktu 4 tahun terakhir di Kelurahan Manggarai Jakarta Selatan. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Cross-sectional dengan mengadakan wawancara kepada responden terpilih menggunakan kuesioner, sedangkan pemeriksaan sampel air dilakukan dengan mengambil sampel air baik dari sumur pampa tangan penduduk, hidran umum yang terdapat di MCK dan pengambilan sampel air sungai Ciliwung, kemudian hasil pemeriksaan bakteriologis sampel air dinyatakan dengan Index Most Probable Number (MPN) atau perkiraan terdekat jumlah kuman golongan Cali yang paling mungkin.
Pengumpulan data tentang Angka Kematian Bayi dilakukan dengan memperoleh data dari Laporan Bulanan Puskesmas Kecamatan Tebet Jakarta Selatan dalam kurun waktu 4 tahun terakhir. Pengujian sampel air menunjukkan bahwa kualitas bakteriologi air yang berasal dari hidran di MCK seluruhnya negatip, 70% dari sumur pampa tangan negatip sedangkan yang dari air sungai Ciliwung masih terdapat Coll namun angkanya menunjukkan penurunan jika dibandingkan angka 4 tahun sebelumnya. Terdapat kecenderungan penurunan Angka Kematian Bayi sebesar 44,44 per 1000 kelahiran hidup (1985-1989) dan 1,67 per 1000 kelahiran hidup dalam periode 1989-1993 (Haryoto Kusnoputranto, Nastiti S.W. Karliansyah, Sulistyono).
Dalam konteks internasional misalnya apa yang dilakukan oleh Australian Volunteers International (AVI) selama 60 tahun. AVI telah memberikan dukungan peningkatan lfe skill bagi komunitas di 89 negara. Fokus program AVI antara lain: reducing poverty, providing health and education services, promoting human rights and gender equality and protecting the environment. Tentu ini bisa menjadi inspirasi bagi berbagai organisasi di tanah air agar bisa berbuat secara global.(*)
*) Penulis Efri Syamsul Bahri, Sekjen Forum Pemuda Bangun Negeri.
Versi awal dimuat di https://www.garisdepan.id tgl 17 Mei 2016