Rancangan Undang-Undang Tentang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) hingga saat ini belum juga disahkan oleh DPR. Padahal RUU ini telah dibahas sejak tahun 2008. Sebagai gambaran, RUU JPH ini merupakan inisiatif DPR yaitu Komisi VIII. RUU ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2011. Dengan demikian, RUU JPH sudah melalui proses yang panjang, yang hingga saat ini belum ada keputusan. Posisi saat ini pembahasan RUU tersebut masih dilakukan di tingkat Panitia Kerja (Panja).
Sesuai dengan alur pembahasan rancangan aturan di DPR, maka dengan sisa waktu jabatan DPR RI Periode 2009-2014 yang masih beberapa bulan lagi, sejatinya RUU ini masih bisa dituntaskan dan didorong untuk disahkan. Tentu hal ini bisa tercapai apalagi dengan adanya dorongan publik. Dengan kehadiran UU itu, kita berharap beberapa isu krusial dapat segera dituntaskan.
Pertama, masalah kelembagaan. Hal yang dimaksud yaitu mengenai masalah kelembagaan yang berwenang untuk melakukan sertifikasi, registrasi, dan labelisasi produk halal agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan. Dalam hal ini yang menjadi sorotan adalah bagaimana peranan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam sistem jaminan produk halal, dalam konteks terkait dengan lembaga penyelenggara sertifikasi halal. Sebagai lembaga yang sudah berpengalaman, maka peran MUI melalui LPPOM perlu dioptimalkan sehingga lebih efisien. Bayangkan kalau dibuat lagi lembaga baru yang memerlukan insfrasktur baru dan anggaran yang besar.
Kedua, masalah sifat RUU ini apakah mandatory atau voluntary. Sebagai masyarakat, tentu dengan sifat mandatory, maka RUU ini menjadi powerfull. Di mana peran pemerintah sebagai pelayan masyarakat akan sangat maksiman. Namun, kita juga perlu memperhatikan faktor efisiensi dan kemudahan. Kita ketahui bahwa jenis atau jumlah yang haram itu lebih sedikit, maka hal itulah yang perlu dimonitor dan dikendalikan. Sebagai gambaran bahwa yang menjadi sorotan adalah persoalan sifat pemberlakuan halal bagi produk makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia, produk biologi, dan produk rekayasa genetik. Kita sangat mengapresiasi adanya keinginan DPR bahwa pelaku usaha wajib mendaftarkan produk untuk memperoleh sertifikat halal dan nomor registrasi halal. Begitu juga dengan keinginan pemerintah yang cenderung bahwa sertifikat halal diberlakukan secara sukarela berdasarkan permohonan pelaku usaha. Yang terpenting bagi masyarakat adalah adanya kepastian dan tindakan ketika ditemukan produk yang tidak halal di pasaran yang dijual bebas, maka ada tindakan yang jelas dan tidak melakukan pembiaran.
Ketiga, persoalan biaya sertifikasi halal dan registrasi halal. Dalam hal ini posisi pemerintha adalah memberikan layanan kepada pelaku usaha mikro dan usaha kecil. Karena kalau mereka dikenakan biaya lagi tentu beban mereka akan semakin berat dan sulit bersaing dengan pengusaha besar. Di sinilah perlu adanya keberpihakan sehingga pelaku usaha mikro dan kecil dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh sertifikasi halal dan registrasi halal dengan biaya ditanggung pemerintah.
Seyogyanya ketiga persoalan ini bisa dituntaskan. Apalagi RUU ini memiliki dasar yang kuat untuk disahkan. Pertama, dasar filosofis. Dasar filosofis adalah pandangan hidup bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila. Rumusan Pancasila terdapat di dalam Pembukaan (preambule) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945), yang terdiri dari empat alinea. Dasar negara adalah Pancasila sedangkan keempat pokok pikiran di dalam Pembukaan UUD 1945 pada dasarnya untuk mewujudkan cita hukum (rechtsides) yang menguasai hukum dasar negara baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Kedua, dasar sosiologis. Masyarakat muslim Indonesia merupakan bagian terbesar penduduk Indonesia. Mereka mulai menyadari bahwa banyak pangan dan produk lainnya yang diragukan kehalalannya karena mereka tidak menemukan petunjuk yang menandakan bahwa pangan dan produk lainnya itu halal dikonsumsi dan digunakan.
Ketiga, dasar yuridis. Di dalam pasal 28 E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Dasar Tahun 1945 menetapkan kewajiban konstitusional negara dalam hal ini Pemerintah untuk melindungi hak warga negaranya untuk melaksanakan keyakinan dan ajaran agama tanpa ada hambatan dan gangguan yang dapat mengganggu tumbuhnya kehidupan beragama di Indonesia. Pasal 28 E ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Selanjutya pada pasal 29 UUD 1945 menyatakan: Ayat (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Hukum Syariah Islam dengan tegas melarang umatnya mengkonsumsi segala hal yang tidak halal atau haram. Namun demikian perlindungan bagi hak umat Islam untuk hidup sehat dan mengkomsusi produk halal sesuai dengan ketentuan Kitab suci Al Qur’an dan Al Hadits, belum mendapat perlindungan hukum yang memadai dalam sistem hukum nasional.
Ketentuan di dalam Undang-undang Nomor. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang telah direvisi menjadi UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, UU No 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, belum memberikan kepastian hukum, perlindungan hukum, serta pemenuhan hak asasi manusia untuk beribadat menurut agamanya dalam hal mengkonsumsi pangan dan menggunakan produk lainnya yang dijamin kehalalannya secara yuridis.
Keempat, dasar ekonomi. Dalam sistem perdagangan internasional masalah sertifikasi dan penandaan kehalalan produk mendapat perhatian baik dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen umat Islam di seluruh dunia sekaligus sebagai strategi menghadapi tantangan globalisasi dengan berlakunya sistem pasar bebas dalam kerangka ASEAN – AFTA, NAFTA, Masyarakat Ekonomi Eropa, dan Organisasi Perdagangan Internasional (World Trade Organization). Sistem perdagangan internasional sudah lama mengenal ketentuan halal dalam CODEX yang didukung oleh organisasi internasional berpengaruh antara lain WHO, FAO, dan WTO.
Arah dan Strategi
Mengingat substansi dari RUU JPH, maka diperlukan arah dan langkah-langkah strategis dan taktis agar RUU ini dapat disahkan pada periode DPR yang sekarang. Momentum ini tentu akan dapat dimanfaatkan secara maksimal dengan beberapa langkah berikut ini. Pertama, DPR dan pemerintah perlu memberikan perhatian khusus untuk menyelesaikan pembahasan RUU JPH. Tentu dengan waktu yang ada saat ini kita masih optimis pembahasan ini bisa dituntaskan.
Kedua, kepentingan masyarakat dan masa depan bangsa harus menjadi dasar utama dalam penyusunan RUU JPH. Untuk itu, masyarakat juga perlu memberikan dorongan moril agar pemerintah dan DPR dengan segera menyelesaikan pembahasan RUU JPH ini. Kita tentu berkejaran dengan waktu. Untuk itu kalau perlu berlari atau terbang, maka mari kita lakukan demi menyelamatkan masa depan bangsa ini dengan memberikan jaminan produk halal.
Hal ini sejalan dengan Hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan Bukhari-Muslim yang secara jelas menyebutkan “Sesungguhnya yang halal itu sudah jelas, dan yang haram pun sudah jelas, dan di antara kedua hal tersebut terdapat yang mutasyabihat (syubhat, samar-samar, tidak jelas halal haramnya), kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya.Barangsiapa yang berhati-hati dari perkara syubhat, sebenarnya ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya, dan barangsiapa jatuh dalam perkara syubhat maka ia jatuh dalam keharaman”. (H.R. Bukhari-Muslim). Wallahua’lam.
@Tulisan ini dimuat di Majalah Stabilitas pada tanggal 22 Juli 2014 yang dapat diakses di http://www.stabilitas.co.id/view_articles.php?article_id=2354&article_type=0&article_category=4
@Penulis adalah peneliti dan staf pengajar STEI SEBI, E-mail: efrisb@gmail.com)