Kekuatan internal antara lain komitmen seluruh elemen dalam organisasi terhadap visi dan misi yang telah disepakati. Sedangkan kekuatan eksternal adalah segala sumberdaya yang ada disekitar perbankan syariah mulai dari nasabah, mitra pembiayaan, pengambil kebijakan, mitra industri, dll. Pengalaman empirik menunjukkan bahwa pada organisasi yang istiqomah terhadap visi dan misinya tidak terlalu terpengaruh pada turn over personalianya.
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia saat ini cukup menggembirakan jika dibandingkan dengan masa lebih dari tiga dekade silam ketika Bank Muamalat berdiri pada 1991. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya kantor bank syariah atau jumlah penghimpunan dana dan pembiayaannya.
Jika pada tahun 1992-1998 hanya terdapat satu BUS, maka berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam Statistik Perbankan Syariah (SPS) sampai bulan Desember 2014, Bank Umum Syariah (BUS) di Indonesia berjumlah 12, Unit Usaha Syariah (UUS) berjumlah 22. Sedangkan total aset BUS dan UUS per Desember 2014 telah mencapai Rp272,34 triliun dengan jumlah DPK sebesar Rp217,86 triliun dan pembiayaan yang diberikan sebesar Rp199,33 triliun. (Apip Zanaryatim, 2016).
Namun perkembangan perbankan syariah Indonesia berjalan lambat jika dibandingkan dengan negara tetangga. Share bank syariah masih berada pada kisaran 4,8 persen dari total industri perbankan, reksa dana syariah juga masih 4,5 persen. Sukuk sebagai salah satu alternatif investasi juga masih 3,2 persen.
Sedangkan, industri keuangan non-bank (IKNB) hanya berkontribusi 3,1 persen. Perbankan syariah berkontribusi terbesar untuk keuangan syariah (50 persen), diikuti oleh sukuk (44 persen), kemudian asuransi syariah dan reksadana (65 persen). (Luqman Hakim Handoko, 2016). Hal ini tentu menjadi perhatian dan tantangan bagi bangsa Indonesia agar mampu menjadikan negeri ini sebagai kiblatnya perbankan syariah.
Laporan bertajuk Indonesia’s Economy and The Prospect for Banking in 2016 yang dilansir Otorotas Jasa Keuangan menggambarkan secara umum kinerja keuangan perbankan masih terjaga baik dan relatif stabil. Hal itu tercermin dari fungsi intermediasi yang berjalan normal, permodalan yang masih kuat, rentabilitas perbankan yang masih terjaga baik, dan efisiensi perbankan yang masih oke kendati sedikit mengalami penurunan.
Digambarkan juga tentang visi pengembangan perbankan syariah yakni: mewujudkan perbankan syariah yang berkontribusi signifikan bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, pemerataan pembangunan dan stabilitas sistem keuangan serta berdaya saing tinggi. Untuk mewujudkan visi perbankan syariah itu, Indonesia harus mampu menghadapi berbagai tantangan.
Menjawab Tantangan
Pembenahan perbankan dapat dilakukan dengan meningkatkan ketahanan organisasi. Salah satu cara untuk mewujudkan ketahanan perbankan syariah adalah dengan menerapkan institutional building. Ini adalah suatu proses yang dilakukan untuk memperkokoh organisasi dengan mengandalkan kekuatan baik dari dalam maupun dari luar organisasi.
Institutional building perbankan syariah dapat dicapai melalui tahapan proses sebagai berikut. Pertama, merumuskan visi dan misi organisasi. Visi perbankan syariah menunjukkan suatu pernyataan yang menjelaskan tentang keadaan yang terjadi jika semua dapat berjalan dengan baik. Sedangkan misi perbankan syariah adalah pernyataan tujuan yang menjelaskan mengapa kita harus berusaha. Agar visi dan misi organisasi dapat diukur keberhasilannya, maka perbankan syariah juga mesti menetapkan indikator-indikator keberhasilanya.
Keberhasilan pencapaian visi dan misi perbankan syariah dipengaruhi banyak faktor baik internal maupun eksternal. Kekuatan internal antara lain komitmen seluruh elemen dalam organisasi terhadap visi dan misi yang telah disepakati. Sedangkan kekuatan eksternal adalah segala sumberdaya yang ada di sekitar perbankan syariah mulai dari nasabah, mitra pembiayaan, pengambil kebijakan, mitra industri, dll. Pengalaman empirik menunjukkan bahwa pada organisasi yang istiqomah terhadap visi dan misinya tidak terlalu terpengaruh pada turn over personalianya.
Kedua, adanya standard operational procedure (SOP). SOP yang baik adalah yang memberikan ruang terhadap inovasi, jaminan atas career planning sertra prosedur administrasi yang jelas.
Ketiga, pemilihan segmentasi pasar. Produk yang dihasilkan mesti spesifik dan punya keunggulan sendiri, baik dari sisi kemudahan layanan, kecepatan prosesnya maupun daya manfaat bagi nasabahnya. Sehingga image produk yang diluncurkan itu terpatri di masyarakat. Dengan adanya kodifikasi produk perbankan syariah yang telah diterbitkan OJK, maka perbankan syariah bisa menyesuaikan pilihan produk yang ditawarkan kepada nasabah dengan kapasitas organisasinya.
Dukungan regulasi dan berbagai stimulus yang telah diluncurkan pemerintah mesti dijadikan momentum untuk terus bergerak meningkatkan kinerjanya. Peningkatan peran dan eksistensi perbakan syariah itu dapat dilihat dari indikasi terjadinya peningkatan nilai aset perbankan syariah. Peningkatan nilai aset ini dipengaruhi banyak faktor antara lain: terjadinya peningkatan modal, naiknya jumlah tabungan nasabah dan naiknya perolehan laba.
Sesuai dengan prinsip-prinsipnya, perbankan syariah menganggap nasabah pembiayaannya sebagai mitra. Di mana terdapat pembagian peran untuk mensukseskan bisnis yang dibiayai. Perbankan syariah juga ikut proaktif dalam membantu usaha mitra agar tingkat kemacetan cicilan dapat ditekan seminimum mungkin. Dengan demikian perolehan laba pun dapat dicapai secara maksimal.
Penulis, Efri Syamsul Bahri
Kepala Unit Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat STEI SEBI, Analis Keuangan dan Perbankan Syariah SIBER-C
Dimuat di http://stabilitas.co.id/home/detail/menjawab-tantangan-perbankan-syariah, Sabtu 4 Juni 2016 21:4:0