Oleh Efri S. Bahri[1]
Memaknai CSR
Corporate yang eksis adalah entitas yang mempunyai kepedulian terhadap stakehoder strategisnya baik secara internal maupun internal. Stakeholder internal seperti karyawan, pemasok,dll. Sedangkang secara stakeholder eksternal misalnya masyarakat, LSM, pemerintah, dll. Bentuk kepedulian perusahaan tersebut sering diistilahkan dengan sebutan Corporate Social Responsibility (CSR).
Istilah CSR di Indonesia akhir-akhir ini semakin sering disebut. Salah satu sebabnya adalah semakin besarnya peranan CSR terutama dalam membantu masyarakat yang mejadi korban bencana seperti: korban tsunami NAD dan Nias, korban banjir Jakarta dan sekitarnya, korban gempa Jogyakarta, dll.
CSR merupakan konsep yang terus berkembang. Ia belum memiliki sebuah definisi standard maupun seperangkat kriteria spesifik yang diakui secara penuh oleh pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Secara konseptual, CSR juga bersinggungan dan bahkan sering dipertukarkan dengan frasa lain, seperti corporate responsibility, corporate sustainability, corporate accountability, corporate citizenship, dan corporate stewardship. (Suharto, 2008)
World Business Council for Sustainable Development (WBCSD, 2003) mengartikan Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai komitmen pelaku bisnis untuk berkontribusi kepada pembangunan berkelanjutan dengan meningkatkan kualitas kehidupan para pekerja, keluarga pekerja, komunitas lokal dan masyarakat luas.[2]
CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, melainkan pula untuk pembangunan sosial-ekonomi kawasan secara holistik, melembaga dan berkelanjutan. Pengertian CSR yang relatif lebih mudah dipahami dan dioperasionalkan adalah dengan mengembangkan konsep Tripple Bottom Lines (profit, planet dan people) yang digagas Elkington (1998). Suharto menambahkannya dengan satu line tambahan, yaitu procedure. Dengan demikian, CSR adalah “Kepedulian perusahaan yang menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi kepentingan pembangunan manusia (people) secara berkelanjutan berdasarkan prosedur (procedure) yang tepat dan profesional” (Suharto, 2008b).
Dari uraian di atas, kita bisa menarik benang merah bahwa CSR pada dasarnya entitas Corporate mempunyai tanggungjawab terhadap lingkungannya. Suharto membaginya menjadi dua elemen kunci. Pertama, good corporate governance, yaitu terkait dengan etika bisnis, manajemen sumberdaya manusia, jaminan sosial bagi pegawai, serta kesehatan dan keselamatan kerja. Kedua, good corporate responsibility: pelestarian lingkungan, pengembangan masyarakat (community development), perlindungan hak azasi manusia, perlindungan konsumen, relasi dengan pemasok, dan penghormatan terhadap hak-hak pemangku kepentingan lainnya.
Di Indonesia, terdapat regulasi CSR[3], antara lain:
- UU Tentang Lingkungan Hidup : Pasal 5, 6, 7
- PP No.27/1999 : Pasal 33-34
- UU No.40/ 2007 Tentang Perseroan Terbatas : Pasal 1.3 dan 74
Menurut UU No.40/2007 Tentang Perseroan Terbatas (Pasal 1 ayat 3) “Tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.”UU No.40/ 2007 tentang Perseroan Terbatas (Pasal 74)
1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
2. Tanggung jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3.Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah
Posisi LSM, Sebuah Pembelajaran
Bila kita memaknai CSR sebagaimana di atas, terlihat bahwa dukungan CSR begitu luas, melingkupi berbagai bidang. Pada kesempatan ini, saya lebih banyak mengulas mengenai elemen kunci kedua, yakni tentang, good corporate responsibility yang melingkupi pelestarian lingkungan, pengembangan masyarakat (community development), perlindungan hak azasi manusia, perlindungan konsumen, relasi dengan pemasok, dan penghormatan terhadap hak-hak pemangku kepentingan lainnya. Pertanyaannya kemudian, dimana posisi LSM dan peranan apa saja yang bisa dilakukan?
1. Sebagai Pelaksana
Secara umum, CSR bukan core business corporate. CSR dianggp sebagai dana kebajikan atau donasi yang akan diberikan kepada masyarakat. CSR tidak menjadi perhatian karena bukan profit centre tetapi masih dianggap sebagai cost center. Untuk kondisi corporate seperti ini, biasanya corporate cukup dengan menyalurkan dananya kepada lembaga sosial (yayasan, lembaga zakat, forum karyawan, dll). Artinya pimpinan corporate tidak terlalu concern dalam penanganannya yang penting donasi sudah disalurkan. Untuk kasus seperti ini biasanya corporate mendapat informasi dari media (berita dan iklan kemanusiaan).
Lembaga-lembaga yang menjadi pilihan corporate tentu lembaga yang sudah dikenal luas. Cirinya: aktivitasnya sering dimuat dalam media, sering memasang iklan, mempunyai relasi personal dengan corporate, dll.
Sedangkan bagi perusahaan yang besar seperti BUMN, corporate sudah mempunyai pola sendiri dalam penyaluran donasi CSR-nya. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, jumlah dana CSR yang material. Karena jumlahnya material, maka penyaluran dana CSR termasuk yang akan diaudit. Dengan demikian, corporate mesti menentukan pola penyaluran apakah langsung atau melalui kemitraan.
Untuk kasus seperti ini, umumnya corporate sudah mempunyai Tim atau Lembaga yang mengelola CSR. Bila LSM ingin mengakses, maka perlu menjalin sinergi yang lebih sistematis dan tidak bisa tiba-tiba. LSM mesti mampu menunjukkan kapasitasnya dalam mengelola CSR tersebut. Kapasitas tersebut ditunjukkan dengan track record pada program yang sama, kemudian mempunyai disain program yang sistematis dan bisa dijalankan.
2. Sebagai Perencana
Perlu kita catat bahwa sesungguhnya CSR ini bukan core business corporate. Maka, bagi LSM ini merupakan peluang. LSM bisa menjadi partner dalam membuat perencanaan program CSR corporate. Peranan ini saat ini banyak dilakukan oleh konsultan dan NGO Internasional. LSM dengan segudang pengalamannya dapat memberikan presentasi model penanganan CSR untuk program tertentu sesuai dengan kapasitasnya.
3. Sebagai Organizer
Keberadaan CSR yang terus tumbuh, perlu kita sambut gembira. LSM bisa melakukan berbagai program dan aktivitas yang dapat memberikan kemudahan bagi corporate dalam mengelola CSR. Apa yang dilakukan selama ini oleh LSM perlu disosialisasikan kepada corporate agar timbul saling pengertian, saling memahami, dan syukur bisa saling sinergi.
Kendati LSM mempunyai posisi strategis terhadap CSR, tetapi ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian. Pertama, LSM mesti mempunyai tim manajemen yang prima. LSM mesti mampu menunjukkan profesionalismenya dalam penanganan CSR. Manajemen corporate kita akui sangat piawai dalam penanganan bisnisnya, tetapi dalam penanganan CSR tentu bukan core-nya corporate. Oleh karena itu, bisakah kita menunjukkan kapasitas kita?
Kedua, kesetaraan. Kedudukan direksi pada sebuah corporate seringkali dianggap lebih dibandingkan LSM. Padahal mesti kita tunjukkan bahwa posisi di LSM juga tidak kalah dengan kedudukan sebagai direksi sebuah corporate ataupun pejabat publik. Terkait dengan hal ini, saat ini beberapa lembaga sudah menggunakan pakaian resmi sebagaimana halnya bekerja di corporate, misalnya: penggunaan dasi, seragam resmi, atribut, dll.
Pola Pengorganisasian
Bagi LSM, dengan terbukanya kesempatan untuk bersinergi dengan CSR, maka perlu dirancang berbagai alternatif pola penggalangan dana CSR.
- Pola Sentralisasi. Pada model seperti ini penggalangan dana CSR dilakukan terpusat melalui satu lembaga yang kapabel dan kuat. Lembaga ini bisa saja merupakan gabungan dari berbagai pihak seperti: LSM, Corporate, Media, Perguruan Tinggi dan Tokoh Masyarakat.
- Pola Desentralisasi. Pada model seperti ini, penggalangan dilakukan oleh setiap LSM. Dimana setiap LSM akan memprospek CSR yang customize dengan visi, misi dan programnya.
- Pola Perwakilan. CSR di Sumatera Barat bisa saja menjadi perwakilan dari Forum CSR Nasional yang sudah ada. Namun, segala sistem operasi harus mengacu ke yang sudah ada.
Apapun pilihan kita, yang terpenting ada sebuah upaya untuk melakukan penggalangan dana CSR yang lebih sistematis. Sehingga kita harapkan semakin banyak masyarakat yang berdaya, semakin kuat kapasitas LSM-nya.
Penutup
Peluang dalam mengakses CSR sudah sangat terbuka. Tetapi kita harus ingat no free lunch. Tidak akan tumbuh padi kalau belum ditanam. Persaingan sesungguhnya adalah pada internal kita sendiri. Bila kuat institusi kita, maka trust dari pihak lain akan tumbuh. Bahkan merekalah yang mendekat ke kita. Kita perlu SDM dan institusi yang tangguh dalam penanganan CSR, menyangkut tanggung jawab kepada stakholder strategis termasuk corporate, governance, people, media, dll. Wallahua’lam bish shawab.
[1] Direktur Eksekutif Mitra Peduli Indonesia, Ketua Yayasan KABISAT dan Dosen STEI SEBI. Makalah disampaikan pada Lokakarya Penguatan Corporate Social Responsibility (CSR), Konsorsium Pengembangan Masyarakat Madani (KPMM), Hotel Rumah Nenek, Padang, 27 September 2010
[2] Taufik Rahman, CSR dan Tantangan Buat Serikat Pekerja, Lingkar Studi CSR, 2008
[3] Todung Mulya Lubis, CSR, Kebijakan Negara dan Hukum di Indonesia, Makalah Workshop Tanggungjawab Sosial Perusahaan, Yogyakarta, 6-8 Mei 2008