Sebagai salah satu bentuk LKM, Baitul Maal wat-Tamwil (BMT) memiliki dua kelebihan. Pertama, BMT merupakan baitul maal dimana salah satu kegiatannya berupa penggalangan dan pendayagunaan dana Zakat, Infak dan Shadaqah (ZIS). Penggalangan dana ZIS akan semakin besar, ketika baitul maal tersebut mampu mengelolanya secara amanah dan profesional. Dengan kepercayaan yang semakin tinggi, diharapkan akan semakin banyak donatur dan masyarakat yang memanfaatkan jasa BMT tersebut.
Dari sisi pendayagunaan, berbagai program kreatif sangat dimungkinkan untuk dibiayai dari sumber dana ZIS ini, antara lain: pengembangan sumberdaya manusia (SDM), pengembangan ekonomi, perbaikan mutu kesehatan, serta santunan guna memenuhi kebutuhan pokok. Makin besar dana ZIS yang dikelola BMT, maka makin besar pula kontribusinya terhadap pengentasan kemiskinan. Dalam kondisi seperti ini, BMT dapat mendirikan Lemabag Amil Zakat (LAZ) guna mengelola dana ZIS secara lebih profesional. Peningkatan peran ini bukan berarti menghilangkan fungsi baitul maal pada BMT karena ini bisa dijembatani dengan mendesain sistem sinergi antara LAZ dan BMT.
Kedua, BMT merupakan baitut tamwil. Dalam hal ini fungsi BMT persis sama dengan perbankan dengan orientasi meraih profit yang optimal. Konsekuensinya, sistem operasional BMT mesti profesional. Sedangkan karyawan dituntut kemampuan entrepeneurship yang tinggi. Dalam melakukan pembiayaan juga harus memperhatikan faktor-faktor peluang dan resiko bisnis, sehingga peningkatan pendapatan dapat dirasakan kedua belah pihak baik BMT maupun nasabahnya.
Salah satu BMT yang cukup berkembang, yaitu BMT Bina Dhuafa Beringharjo, Yogyakarta. Hanya dengan modal awal Rp 1 juta, kini setelah sembilan tahun beroperasi, BMT ini telah memiliki aset sebesar Rp 4,89 miliar dan modal Rp 721 juta. BMT yang menurut Jejaring Asset Reform (JAR) Dompet Dhuafa, termasuk kategori sehat, dimana rasio keuangan pada tahun 2003 antara lain: tingkat likuiditas 68,94 persen, CAR 23,86 persen, LDR 68,94 persen, dan ROI 5,81 persen. Jumlah karyawan sebanyak 37 orang dengan melayani 5.240 nasabah kecil dan mikro.
Keberhasilan ini tampaknya tidak lepas dari kemampuan rekayasan sosial dan entrepreneurship para karyawannya. Kemampuan rekayasa sosial berguna dalam perintisan dan pengembangan komunitas nasabah pembiayaan, supaya nasabah mampu melakukan kerjasama dan kemitraan untuk saling menguatkan usahanya. Dalam hal ini BMT akan berperan sebagai fasilitator. Sedangkan kemampuan entrepreneurship menjadi penting untuk memberikan rekomentasi atas usulan bisnis nasabah, sehingga pembiayaan BMT betul-betul mampu meningkatkan pendapatan nasabahnya.
Melalui pengelolaan yang profesional, kini BMT Bina Dhuafa Beringharjo telah berhasil melakukan ekspansi ke Pusat Perdagangan Malioboro, Yogyakarta, dengan motto: makin dekat dan akrab dengan nasabah. “Dari 2.000 pedagang di Malioboro, sebanyak 1.700 pedagang yang menjadi nasabah BMT. Potensi inilah yang akan kita kembangkan terus,” ungkap Mursida Rambe, selaku Direktur sekaligus perintis pendirian BMT Bina Dhuafa Beringharjo. (Penulis, Efri S. Bahri, Penulis, Asisten Vice President JAS & JPZ Dompet Dhuafa Republika dimuat di Republika, 11 March 2004)