Hasil kajian Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) pada tahun 2015 menyebutkan bahwa pada tahun 2014, dari 56,4 juta usaha mikro dan kecil (UMK) di Indonesia, baru 30% yang mampu mengakses pembiayaan, 76,1% mendapatkan kredit dari bank dan 23,9% mengakses dari non bank. Artinya, sekitar 60%-70% belum mempunyai akses pembiayaan melalui perbankan. Padahal peran usaha mikro dalam perekonomian Indonesia begitu besar dan signifikan, antara lain (Urata; Sulistyastuti, 2004; Sakur, 2011), yaitu: sebagai pemain utama dalam kegiatan ekonomi, penyediaan kesempatan kerja, pemain dalam pengembangan ekonomi lokal dan pengembangan masyarakat, penciptaan pasar dan inovasi dan berkontribusi terhadap peningkatan ekspor non-migas.
Meski memilki peran yang begitu besar, wirausahawan mikro dihadapkan pada permasalahan akses modal. Kurangnya akses modal menyebabkan usaha yang dijalankan wirausahwan mikro kurang berkembang. Hal ini mengakibatkan kondisi wirausahawan mikro masih berada dalam kondisi miskin. Padahal, sebagaimana lazimnya sebuah unit usaha, maka keberhasilan usaha yang dilakoni wirausahawan mikro juga ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain: karakteristik usaha, besaran modal kerja dan investasi, omset penjualan dan besaran biaya operasional.
Dari aspek karakteristik usaha misalnya, usaha perdagangan, jasa dan manufaktur mempunyai karakterisitk masing-masing. Pada usaha perdagangan, modal kerja pada umumnya dibutuhkan untuk pembelian barang dagangan. Semakin besar pembelian barang dagangan, maka dibutuhkan modal kerja yang besar juga. Disinilah jiwa kewirausahawan menjadi penting agar bisa melakukan negosiasi dan kerjasama dengan vendor sehingga pembelian barang dagangan dapat dilakukan dengan pilihan skema lain, seperti: konsinyasi, pembayaran dengan sistem angsuran, dan lainnya. Namun, ini butuh yang namanya trust. Ketika wirausahawan mikro telah mendapatkan trust dari vendor, maka skema pembelian barang non tunai pun dapat dilakukan. Bahkan, bukan tidak mungkin malah sebaliknya, vendor yang menitipkan barangnya kepada wirausahawan mikro. Selajutnya pada usaha berbasis jasa, dan manufaktur kebutuhan modal dan investasinya akan berbeda. Sebuah usaha manufaktur membutuhkan modal kerja yang lebih besar lagi, karena mesti melakukan pembelian bahan baku produksi, biaya tenaga kerja dan biaya overhead seperti: biaya listrik, dll.
Keterbatasan modal kerja dan investasi pada usaha yang dikelola wirausahawan mikro ini menyebabkan omset penjualan menjadi masih terbatas, perolehan laba usaha pun belum optimal. Akibatnya, pendapatan wirausahawan mikro juga kecil sehingga belum mampu mencukupi kebutuhan pokok keluarganya. Kondisi yang dialami wirausahawan mikro ini dalam pandangan Hanif Ardiansyah (2014) menjadi faktor seseorang menjadi miskin.
Permasalahan akses modal yang dialami wirausahawan mikro mesti diatasi. Untuk itu, pada tahap awal perlu dilakukan identifikasi faktor-faktor penyebab wirausahawan mikro tidak bisa mengakses modal. Pertama, tidak adanya jaminan dan persepsi profil berisiko tinggi (Quraisy, 2017, hal. 1). Kedua, tidak memiliki agunan (Yuniar, 2015). Ketiga, kurangnya jaminan (Mahmoud Mohieldin, 2002) Kondisi ini tentu perlu mendapatkan perhatian bersama agar wirausahawan mikro juga bisa tumbuh dan berkembang serta bertransformasi naik kelas menjadi wirausahawan kecil, menengah dan besar.
Untuk mengatasi permasalahan akses permodalan yang dialami wirausahawan mikro, maka Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) memberikan solusi melalui pendayagunaan zakat kepada wirausahawan mikro melalui pendampingan yang dilakukan oleh Lembaga Pemberdayaan Ekonomi Mustahik (LPEM). LPEM berperan di dalam memberdayakan wirausahawan mikro melalui pendampingan usaha dan spiritual. Salah satu kelompok penerima manfaat pendayagunaan zakat adalah kelompok bubur ayam di Desa Sukabakti Kecamatan Tembelang Kabupaten Bekasi yang beranggotakan 15 orang. Melalui LPEM, BAZNAS memberdayakan wirausahawan mikro yang disebut dengan mustahik pengusaha. Proses pemberdayaan mustahik pengusaha dilakukan secara berkelanjutan dengan tahapan kegiatan sebagai berikut: asesmen, peningkatan kapasitas, dukungan peralatan usaha dan pembinaan.
Pendayagunaan zakat menjadi solusi dalam mengatasi permasalahan akses modal kerja bagi wirausaha mikro. Menurut Qardhawi (2005) dalam (Firmansyah, 2013) menyebutkan bahwa tujuan mendasar ibadah zakat itu adalah untuk menyelesaikan berbagai macam persoalan sosial seperti pengangguran, kemiskinan, dan lain-lain. Pendayagunaan zakat ini juga telah dilaksanakan di zaman Rasulullah SAW sebagaimana dikemukakan dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim dari Salim bin Abdillah bin Umar dari ayahnya, bahwa Rasulullah SAW telah memberikan kepadanya zakat lalu menyuruhnya untuk dikembangkan atau disedekahkan lagi. (Ahmad Satori Ismail, 2018)
Pendayagunaan zakat kepada mustahik wirausahawan mikro merupakan strategi pengentasan kemiskinan. Qardhawi menyebutkan ada 4 (empat) cara untuk pengentasan kemiskinan, yaitu: dengan bekerja, menjamin kerabat, jaminan negara dan melalui zakat. Melalui mekanisme zakat, ekonomi orang mskin sebagai penerima zakat akan tumbuh dan berkembang. Hal ini sejalan dengan pandangan al-Syathibi bahwa sesungguhnya syari’at itu bertujuan untuk mewujudkan kemashlahatan manusia di dunia dan di akhirat. Dalam artian hukum-hukum itu disyari’atkan untuk kemashlahatan hamba (Aibak, 2015).
Keberhasilan dalam pembangunan wirausahawan mikro ditentukan oleh banyak faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Faktor-faktor internal dari wirausahawan mikro antara lain: motivasi dalam menjalankan usaha, kesungguh-sungguhan di dalam mengelola serta layanan prima kepada para pelanggan. Sedangkan faktor-faktor eksternal antara lain: edukasi, dukungan pendampingan usaha, pembinaan spiritual, dukungan kebijakan dari pemerintah serta kesempatan yang sama di dalam mengembangkan usaha. Semoga dengan adanya upaya untuk mengoptimalkan faktor-faktor keberhasilan ini dari sisi ekonomi wirausahawan mikro mampu malakukan transformasi menjadi wirausahawan kecil, menengah dan besar. Sedangkan dari sisi dakwah, wirausahawan mikro diharapkan juga mampu melakukan transformasi dari mustahik (orang yang berhak menerima zakat) menjadi munfik (orang yang berinfak) dan muzaki (orang yang menunaikan zakat). Semoga Allah SWT memberikan kekuatan untuk mewujudkannya. Wallahu’alam.
Versi awal dimuat di https://sharianews.com/posts/zakat-dan-pembangunan-wirausahawan-mikro Selasa, 11 Desember 2018 15:12