Oleh: Efri S. Bahri, SE.Ak
RAKERNAS Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berlangsung tgl 14-16 Desember 2003 menghasilkan kesepakatan bahwa bunga bank haram (BBH). Fatwa ini semakin memberikan ketegasan dan kejelasan kepada ummat Islam di Indonesia. Allah SWT berfirman, “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa” (QS.2:276). Melalui fatwa BBH ini diharapkan ummat Islam di Indonesia memiliki sikap yang sama dan mulai beralih pada sistem perbankan syariah. Apalagi performance perbankan syariah menunjukkan perkembangan yang menggembirakan.
Dilihat historisnya, implementasi konsep tanpa bunga atau yang dikenal dengan sistem bagi hasil sudah dirintis sejak awal tahun 80-an, dengan berdirinya BMT (Baitul Maal Wat Tamwil) Teknosa di bandung dan BMT Ridho Gusti di Jakarta (Lihat Nurul Widyaningrum, 2002) yang merupakan lembaga keuangan non bank. Di tahun 1992, dengan disyahkannya UU Perbankan No7 Tahun 1992 kemudian membuka peluang bagi tumbuhnya institusi keuangan bagi hasil di Indonesia. Pada saat tersebut, Bank Muamalat Indonesia (BMI) lahir.
Selanjutnya sampai Desember 2003 sudah tercatat 10 bank syariah, yang terdiri dari dua bank umum syariah (BMI dan Bank Syariah Mandiri) dan delapan Bank dengan unit usaha syariah, antara lain: yakni Bank IFI, Bank BNI, Bank Jabar, Bank BRI, Bank Danamon, Bank Bukopin, Bank Internasional Indonesia, dan yang terakhir adalah Hongkong Sanghai Banking Corporation (HSBC). Kesemuanya itu memiliki 92 kantor pusat, 120 kantor pusat operasional, 26 kantor cabang pembantu, dan 114 kantor kas (termasuk gerai).( Kompas, 01 April 2004)
Perkembangan lainnya ditunjukkan dengan terjadinya peningkatan nilai aset perbankan syariah yang telah mencapai Rp 4,78 triliun. Sementara dana pihak ketiga mencapai Rp 3,4 triliun dengan pembiayaan yang diberikan oleh perbankan syariah telah mencapai Rp3,86 triliun. Peningkatan ini, sebagaimana dikatakan Deputi Bank Indonesia, Maulana (Republika 25/6 2003), menunjukkan terjadinya peningkatan untuk jumlah aset sebesar 18,22 persen, dana pihak ketiga sebesar 16,66 persen, dan pembiayaan yang disalurkan 17,73 persen dibandingkan terhadap posisi masing-masing di akhir tahun 2002.
Peningkatan nilai aset perbankan syariah ini dipengaruhi banyak faktor. Pertama, terjadinya peningkatan modal. Peningkatan modal merupakan cerminan adanya kepercayaan para pemodal terhadap prospek perbankan syariah. Kedua, naiknya jumlah tabungan nasabah. Kenaikan ini juga tidak lepas dari keinginan dan kepercayaan umat muslim di Indonesia untuk menitipkan uangnya pada lembaga yang sesuai dengan syariah. Di sisi lain, bagi nasabah terdapat kenikmatan dan ketenteraman tersendiri dengan menyimpan dana di bank syariah. Hal ini sangat wajar karena implementasi konsep perbankan syariah melalui tahapan yang cukup panjang.
Perkembangan menggembirakan selanjutnya terjadi ketika UU No.7 Tahun 1992 dikonversi kepada UU No.10 Tahun 1998. Konversi sistem operasi perbankan dari konvensional ke sistem syariah, untuk kali pertama dimanfaatkan oleh Bank Susila Bhakti (BSB). Bank yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Bank Dagang Negara (BDN) – sebelum dimerger ke dalam Bank Mandiri – per 19 November 1999, resmi menerapkan sistem syariah dan mengubah namanya menjadi Bank Syariah Mandiri (BSM). Selain memberi peluang konversi sistem konvensional ke sistem syariah, UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, juga memberi peluang operasi perbankan syariah dengan mekanisme Dual Banking System. Artinya, suatu badan usaha perbankan, memiliki dua sistem operasi sekaligus yaitu sistem konvensional dan syariah. Namun dalam pengelolaan dana, diantara keduanya harus tetap dipisahkan. Sistem operasi ganda perbankan inilah yang diterapkan pada Bank IFI. (Anonim, pesantren.net/ekonomi)
Ketiga, naiknya perolehan laba. Sesuai dengan prinsip-prinsipnya, perbankan syariah menganggap nasabah pembiayaannya sebagai mitra. Di dalam konsep ini, terdapat pembagian peran untuk mensukseskan bisnis yang dibiayai. Sehingga risiko-risiko kegagalan dalam usaha mitra, tidak hanya menjadi tanggungjawab mitra. Perbankan syariah juga ikut proaktif dalam membantu usaha mitra. Sehingga diharapkan tingkat kemacetan dapat ditekan seminimum mungkin. Sehingga perolehan laba pun dapat dicapai secara maksimal.
Lahirnya fatwa BBH ini menunjukkan bahwa MUI memiliki kepekaan yang tinggi untuk mendorong penguatan institusi perbankan syariah. Sehingga lembaga keuangan non bunga ini menjadi pilihan dan solusi yang tepat untuk mengembangkan ekonomi ummat. Apa yang telah dipraktikkan oleh Bank Muamalat Indonesia (BMI) sejak 1992 merupakan bukti bahwa sistem perbankan syariah dapat menjadi solusi.
Apalagi secara syar’i, sudah sangat jelas tertera dalam Alquran. KH. Didin Hafiduddin meyakinkan ummat bahwa riba (bunga) dilarang secara mutlak dalam Alquran dan sunah karena akibat buruknya (madharatnya) lebih besar daripada manfaatnya. Bahkan, secara empirik, telah terbukti bahwa sistem bunga menyebabkan negara kaya atau kelompok orang kaya, dengan meminjamkan uang berdasarkan sistem bunga, ternyata menjadi semakin kaya. Sementara itu, negara miskin dan/atau kelompok orang miskin yang meminjam, menjadi semakin miskin, karena berkewajiban untuk selalu memberikan keuntungan yang pasti kepada pihak yang meminjamkan. Hal ini secara tegas seperti dikemukakan dalam buku The Problem with Interest (sistem bunga dan permasalahannya) karya Dr Tarek Al-Dewany. Oleh karenanya, “Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan bunga bank karena dianggap identik dengan riba, seharusnya disikapi dengan sami’na wa atha’na oleh seluruh kaum Muslimin di negara yang kita cintai ini. Karena, fatwa itu dihasilkan oleh ijtima’ para alim ulama seluruh Indonesia yang kredibilitas keilmuan dan kesalehannya insya Allah dapat dipertanggungjawabkan”, ungkap Dewan Syariah Nasional Ini. Apalagi rujukannya jelas, Perhatikan firman Allah SWT dalam surah An-Nisa 161, ”Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. (Didin Hafiduddin, Sami’na Wa Atha’na, Republika, Selasa 30 Desember 2003)
Setelah keluarnya Fatwa BBH terdapat perkembangan menarik dengan terjadinya overlikuiditas (kelebihan likuiditas) pada perbankan syariah. Overlikuiditas disebabkan oleh dua hal. Pertama, didorong adanya Fatwa BBH. Bagi masyarakat yang memahami ini adalah sesuatu kewajiban yang ditunaikan, maka akan langsung merespon dengan cepat. Sehingga jumlah dana pihak ketiga semakin besar. Disi lain, penyaluran dana pihak ketiga (DPK) masih kecil dibandingkan dana yang ditempatkan masyarakat. Untuk jangka pendek peningkatan ini bisa menunjukkan makin besarnya kepercayaan masyarakat kepada perbankan syariah. Namun, kepercayaan ini perlu dirawat dan dijaga dengan meningkatkan penyaluran pembiayaan. Kalau tingkat pembiayaan masih rendah, dalam jangka panjang akan berakibat pada menurunnya tingkat bagi hasil kepada nasabah.
Kedua, karena tingkat bagi hasil bank syariah relatif lebih baik. Menurut Adiwarman Karim, gejala mengalirnya dana ke bank syariah sudah terjadi sebelum MUI mengeluarkan fatwa medio Desember 2003. Menurutnya, pada pertengahan tahun dana titipan di SWBI (Sertifikat Wadiah Bank Indoensia) sekitar Rp 600 miliar. Kemudian menjelang akhir tahun naik jadi Rp 800 miliar dan sekarang melonjak hingga Rp 2,3 triliun. Aliran dana ke bank syariah sebelum fatwa terjadi lantaran tingkat bagi hasil bank syariah yang lebih tinggi dibanding perbankan konvensional. Suku bunga di pasar saat ini sekitar lima sampai enam persen. Sedangkan saat itu tingkat bagi hasil yang diberikan bank syariah sekitar delapan sampai sembilan persen. ”Makanya, yang mengalir pada awalnya adalah dana-dana pensiun. Mereka kan berharap return yang lebih tinggi,” tuturnya.(Republika, Overlikuiditas Tak Hanya Disebabkan Fatwa MUI, 06 April 2004)
Mengelola Prospek
Dengan jumlah penduduk muslim 87,3% (Eramoslem.Com, Pemerintah Belum Berpihak Pada Ummat Islam, Publikasi: 19/02/2004 14:36), sesungguhnya prospek perbankan syariah begitu besar. Prospek ini mesti dikelola dengan baik. Untuk itu diperlukan berbagai instrumen sebagai pendorong. Pertama, mempercepat lahirnya Undang-Undang Perbankan Syariah. Dengan adanya UU tersebut, maka diharapkan perbankan syariah memiliki landasan hukum yang semakin memadai. Kehadiran UU ini menjadi penting mengingat terdapat perbedaan dengan UU No. 10 tentang Perbankan. Heriyakto S. Hartomo (2004) menilai UU yang mengatur bank konvensional hanya mengatur tentang fungsi intermediasi perbankan, sementara perbankan syariah tidak hanya mengurusi fungsi tersebut, tetapi hampir semua produk keuangan. Sehingga, kalau yang diatur oleh UU yang cuma mengatur intermediasi, aturan bank syariahnya tidak tercover.
Lahirnya UU Perbankan Syariah akan sangat tergantung pada political will para pengambil kebijakan yakni pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Oleh karena itu sangat tepat apabila elemen masyarakat seperti: MUI, Asbisindo (Asosiasi Bank Syariah Indonesia, MES (Masyarakat Ekonomi Syariah), Perguruan Tinggi, dan lainnya secara proaktif terus mendorong lahirnya UU ini. Sehingga perbankan syariah memiliki payung hukum yang mengakomodir fungsi dan peranan yang lebih luas, tidak sekadar sebagai institusi intermediasi.
Kedua, meningkatkan sosialisasi perbankan syariah kepada masyarakat. Sosialisasi ini akan efektif apabila dilakukan baik oleh pemerintah maupun elemen masyarakat. Berbagai sarana dan media yang dapat digunakan antara lain: melalui forum-forum dialog pada asosiasi pengusaha, media massa, media elektronik, pendidikan formal sejak dini, dan sarana-sarana lainnya. Melalui sosialisasi ini diharapkan masyarakat akan lebih mengetahui, memahami dan menerapkan konsep perbankan syariah.
Ketiga, meningkatkan mutu layanan perbankan syariah. Di era sekarang ini, masyarakat bukan saja melihat dari berapa bagi hasil atau pembiayaan yang bisa diberikan perbankan syariah. Mereka akan melihat seberapa besar pelayanan yang bisa diberikan. Pelayanan sejati adalah memberikan sesuatu kepada seluruh pelanggannya dengan mudah, ramah, cepat, sesuai syariah. Kelalaian dalam memberikan layanan, yakinlah peluang ini akan ditanggap oleh pesaing anda. Oleh karenanya semakin tinggi tingkat layanan yang diberikan insya Allah semakin tinggi juga tingkat kepuasan pelanggan (customer satisfaction) baik terhadap pihak internal maupun eksternal perbankan.
Keempat, product development (pengembangan produk). Sesungguhnya perbankan syariah bukanlah bersaing dengan perbankan konvensional ataupun antar perbankan syariah. Namun, sebenarnya bersaing dengan dirinya sendiri. Oleh karenanya, begitu penting untuk memberikan ruang dan tempat kepada sumberdaya manusia (SDM) yang ada untuk mampu mengembangkan produk-produk yang ada.
Kelima, penguatan kelembagaan. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk penguatan kelembagaan perbankan syariah, antara lain:
a. Institusional building (membangun institusi). Institusional building sangat penting bagi institusi yang akan mengembangkan diri menjadi lebih kuat dan berkelanjutan. Untuk itu ada beberapa hal prinsip yang dapat dilakukan, antara lain: melakukan strategic planning (perencanaan strategis), internalisasi budaya bisnis dan pengembangan sistem kelembagaan. Melalui proses strategic planning, perbankan syariah akan mengembangkan institusinya sesuai dengan visi dan misi yang ditetapkan. Selain itu, core business-nya menjadi semakin fokus, jelas dan terukur. Dalam hal ini core business perbankan syariah akan mengacu pada kemampuan SDM serta peluang yang ada, sesuai dengan keahlian dan kebutuhan konsumen.
b. Networking (penguatan jaringan). Dengan sebaran penduduk dan pusat pertumbuhan ekonomi yang luas, maka perbankan syariah juga dituntut untuk mampu membangun jaringan. Sehingga pelanggan dapat manikmati layanan terbaik dengan biaya yang ringan. Penguatan jaringan dapat ditempuh dengan cara kemitraan dan mengmbangan jaringan baru.
c. Capacity building (peningkatan kapasitas) SDM. Hal ini dapat dilakukan melalui aktivitas studi banding, pelatihan, asistensi teknis dan lain-lain. Peningkatan kapasitas SDM diharapkan didasarkan pada kebutuhan dan prospek yang akan ditangani. SDM yang ada dalam institusi perbankan diharapkan memiliki pemahaman yang baik terhadap sistem perbankan syariah dan ekonomi syariah secara umum. Melalui capacity building ini, SDM akan memiliki daya guna yang tinggi untuk kemajuan perbankan syariah dan para pelanggannnya.
Dengan makin berdayanya perbankan syariah berarti juga keuntungan bagi negara. Diharapkan perbankan syariah mampu mengatasi berbagai problem kenegaraan seperti: pengangguran, kemiskinan, kebodohan, rendahnya produktifitas dan lain-lain akan segera teratasi. Sehingga tingkat perekonomian, pendidikan dan kesehatan masyarakat semakin membaik.
Penutup
Makin menggeliatnya perbankan syariah di tanah air merupakan sebuah berkah yang harus disyukuri. Namun, jangan sampai keberhasilan ini membuat perbankan syariah jadi lalai. Tantangan ke depan masih banyak. Overlikuiditas yang sedang terjadi saat ini ternyata membuat kita berpikir ulang bahwa sebenarnya bukan kekurangan dana yang menjadi problem utama ekonomi kita. Tetapi sejauh mana kita mampu mengelola trust (kepercayaan) yang diberikan masyarakat dengan menghasilkan product perbankan bermutu yang sesuai tuntunan syariah. Nyatalah kita terus dan terus sangat butuh para entrepreneurship sejati, yang mampu mengelola dana yang ada sebesar dan sekecil apapun.***
Versi awal dimuat di Radar Banjarmasin Jumat 3 September 2004.
Penulis, Efri S. Bahri, Direktur MPI – Mitra Peduli Indonesia dan Ketua Yayasan KABISAT, e-mail efrisb@yahoo.com