Oleh Efri S. Bahri, SE.Ak
Pendekatan pembangunan sosial mengintegrasikan pembangunan kesejahteraan sosial sebagai satu paket dengan pembangunan ekonomi. Hal ini dilakukan untuk mengapresiasikan usaha eksperimentasi dan adaptasi pembangunan sosial ke dalam konteks Indonesia yang sudah banyak dilakukan kalangan LSM di awal tahun 1970 an. Selain itu juga kita menyaksikan bahwa benih sederhana dari pembangunan sosial dewasa ini sudah mulai diadopsi oleh lembaga-lembaga pemerintah.(Effendie, 2009)
Dalam satu decade, kita mencatat usaha kalangan LSM Muslim yang secara sistematis melakukan dari eksperimentasi pembangunan sosial dengan memobilisasi dana-dana keagamaan. Perkembangan yang belakangan penting memperoleh catatan khusus adalah karena mereka tidak mendasarkan program-program mereka pada sumber pembiayaan dari lembaga donor asing maupun pemerintah, melainkan dari dana masyarakat muslim sendiri. Semua perkembangan tersebut sesungguhnya adalah modal dasar yang sangat penting untuk terus dikembangkan agar strategi, kerangka kebijakan dan modal pembangunan di Indonesia dapat secara terbuka dibangun berdasarkan prinsip pembangunan sosial. (Effendie, 2009)
Kiprah LSM Muslim dalam melakukan eksperimentasi pembangunan sosial di Indonesia terus berkembang. Mereka terus berkembang walau tanpa benchmark. LSM Muslim tidak saja berkembang di Ibukota Jakarta, tetapi juga sampai ke daerah-daerah. LSM Muslim yang terus tumbuh melalui penggalangan dana publik antara lain: Dompet Dhuafa Republika, Pos Keadilan Peduli Ummat, Rumah Zakat Indonesia, dll. Hasil penggalangan dana publik tersebut kemudian disalurkan melalui program pendayagunaan antara lain: pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan bantuan kemanusiaan bagi korban bencana.
Apa yang telah dipraktikkan oleh LSM Muslim tersebut merupakan benih pembangunan sosial yang perlu terus ditumbuhkembangkan. Hal ini menjadi penting karena akan meningkatkan kemandirian. Kita juga ikut bangga karena tanpa bantuan dari donor asing mereka bisa eksis. Hal ini menunjukkan betapa kita mempunyai potensi yang luar biaa kalau kita serius untuk mengembangkannya. Tanpa donor asing pun, LSM Muslim telah menunjukkan kepada duna bahwa mereka mampu untuk menggalang dukungan publik untuk pembangunan sosial di Indonesia.
Apa yang telah dilakukan LSM Muslim ini seyogyanya memberikan pelajaran bagi pemerintah untuk mulai mengoptimalkan sumberdaya lokal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan sumber penerimaan negara cukup besar dan sumbernya jelas yakni dari pajak dan non pajak, pemerintah diharapkan mampu merubah paradigma pembangunan dari pembangunan ekonomi semata kepada pembangunan sosial. Hal ini menjadi penting mengingat kondisi Indonesia dengan jumlah penduduku lebih dari 200 juta jiwa, jumlah pengangguran dan kemiskinan yang besar, maka strategi pembangunan ekonomi semata tidak bisa diharapkan menjadi solusi. Pembangunan sosial diharapkan bisa berkontribusi untuk menyelesaikan berbagai masalah yang melanda Indonesia seperti: kemiskinan, pengangguran, kesehatan, dll.
Makalah ini akan menguraikan bagaimana strategi pembangunan sosial yang paling sesuai dengan kondisi di Indonesia. Disamping itu makalah ini juga akan menyajikan contoh konkrit dalam bentuk program nyata.
Konsep Pembangunan Sosial
Pengertian
Edi Suharto mengartikan Pembangunan Sosial sebagai pendekatan pembangunan yang bertujuan meningkatkan kualitas kehidupan manusia secara paripurna, yakni memenuhi kebutuhan manusia yang terentang mulai dari kebutuhan fisik sampai sosial. Secara kontekstual pembangunan sosial lebih berorientasi pada prinsip keadilan sosial ketimbang pertumbuhan ekonomi. Beberapa program yang menjadi pusat pehatian pembangunan sosial mencakup pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, perumahan dan pengentasan kemiskinan.[1]
Terkait dengan istilah “Pembangunan Sosial”, Midgley (1995:h.250) dalam Adi (2003:h.49) mendefinisikan pembangunan sosial sebagai: “a process of planned social change designed to promote teh well-being of the populatioan as a whole in conjunction with a diynamic process of development” (suatu proses perubahan sosial yang terencana yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sebagai suatu keutuhan, dimana pembangunan ini dilakukan untuk saling melengkapi dengan dinamika proses pembangunan ekonomi).[2]
Berdasarkan defenisi di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa pembangunan sosial lebih luas dari pembangunan ekonomi. Pembangunan sosial memberikan perhatian pada terwujudnya keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Strategi Pembangunan Sosial
Perubahan sosial merupakan suatu hal yang dinamis. Oleh karena itu, untuk mewujudkan tujuan pembangunan sosial diperlukan strategi. Dilihat dari strategi pembangunan sosial yang dapat diterapkan dalam upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat, Midgley (1995:h.103-138) dalam Adi (2003:h.49) mengemukakan ada 3 (tiga) strategi besar, yaitu:[3]
- Pembangunan Sosial melalui Individu (social development by inddividuals), dimana individu-individu dalam masyarakat secara swadaya membentuk usaha pelayanan masyarakat guna memberdayakan masyarakat. Pendekatan ini lebih mengarah pada pendekatan individualis atau ‘perusahaan’ (individualist or enterprise approach).
- Pembangunan Sosial melalui Komunitas (Social Development by Communitites), dimana kelompok masyarakat secara bersama-sama berupaya mengembangkan komunitas lokalnya. Pendekatan ini lebih dikenal dengan nama pendekatan komunitarian (communitarian approach).
- Pembangunan Sosial melalui Pemerintah (Social Development by Government), dimana pembangunan sosial dilakukan oleh lembaga-lembaga di dalam organisasi pemerintah (govenement agencies). Pendekatan ini lebih dikenal dengan nama pendekatan statis (statist approach).
Dengan kondisi Indonesia yang begitu kompleks, maka ketiga strategi ini perlu terus dilaksanakan. Artinya, ketika pemerintah melakukan pembangunan sosial, maka peran-peran dari swasta dan sektor ketiga (masyarakat madani) terus ditumbuhkan. Sehingga tidak terjadi dominasi pemerintah dalam penanganan pembangunan sosial. Masing-masing pihak terus menunjukkan kiprahnya bahkan bisa melakukan sinergi untuk memepercepat proses pembangunan sosial.
Ketika pemerintah sebagai pemegang kekuasaan mampu merangkul kekuatan swasta dan LSM, maka kita harapkan outputnya juga lebih bagus. Yang jelas kalau swasta dan sektor ketika mampu memberikan kontribusi pada negara, maka tentu ini akan mengurangi beban pemerintah. Sehingga pemerintah bisa mengalokasikannya untuk program strategis lainnya. Sebagai perbandingan, kita bisa melihat kepada negara Malaysia yang saat ini telah berhasil mewujudkan Perguruan Tinggi bertaraf internasional. Dimana ketika State University-nya dibangun untuk menjadi Universitas Intenasional, maka Universitas swastanya juga ditumbuhkan.
Penentu Keberhasilan
Salah satu determinan (penentu) yang paling kritis dari keberhasilan mencapai tujuan pembangunan sosial terletak pada jenis pendekatan yang digunakan oleh suatu negara. Tentu saja terdapat rentangan alternatif pendekatan pembangunan sosial yang dapat dipilih oleh negara mana pun. Namun pendekatan pembangunan sosial apa pun tampaknya jatuh pada suatu titik di antara kedua kutub sepanjang suatu kontinum pendekatan. Di satu ujung kontinum terdapat pendekatan pembangunan “top-down” terhadap pembangunan sosial bangunan sosial yang berdasar pengelolaan sumber yang bertumpu pada komunitas.” Pembangunan sosial apa pun akan ditandai baik oleh salah satu, atau gabungan dari dua pendekatan tersebut (Korten, 1980; Korten 1986).[4]
1. Pendekatan Pembangunan Sosial Atas-Bawah, Cetak Biru (Top_Down, Blueprint Approach to Sosial Development). Pendekatan ini elitis sifatnya, seperti mimiliki ciri “charity strategy”. Pendekatan ini berkaitan dengan konsep pembangunan sosial yang diinterpretasikan sebagai usaha terencana untuk memberikan pelayanan dan fasilitas sosial yang lebih baik kepada rakyat. Keputusan-keputusan tentang pelayanan dan fasilitas sosial yang diberikan, siapa yang memberi, kapan, di mana serta bagaimana diberikan, sepenuhnya merupakan kebijaksanaan birokrasi pemerintah. Kelompok sasarannya tidak mempunyai bentuk pasti karena mereka ditentukan secara terpusat tanpa mempertimbangkan kebutuhan subyektif mereka dan kemampuan mereka untuk memberikan respons. Rakyat diharapkan menerima secara pasif apa pun pelayanan sosial dan fasilitas sosial yang dipilih birokasi pemerintah untuk ditawarkan sesuai dengan kebijaksanaannya. Pelayanan dan fasilitas sosial yang ditawarkan cenderung
sudah ditentukan dan seragam. Pendekatan ini berkaitan dengan meminjam pepatah Honadle (1981),” memberi ikan kepada rakyat yang siap dimakan pada hari ini, dan bukan mengajari mereka memancing sehingga mereka bisa memakannya setiap hari.”
Meskipun mekanisme menyalurkan pelayanan melalui pendekatan atas bawah (top-down) tersebut dapat efektif dan efisien dalam memberikan pelayanan sosial dan fasilitas sosial kepada rakyat, namun terdapat beberapa kelemahan serius yang inheren dalam pendekatan ini:
a. Pendekatan ini menghilangkan nilai kemanusiaan karena penerima manfaat itu jarang memiliki peranan apa pun kecuali sebagai pemanfaat pelayanan dan fasilitas sosial yang ditentukan secara sepihak oleh birokrasi pemerintahan.
b. Pendekatan tersebut sering melemahkan kemampuan kreatif rakyat untuk tradisional telah mereka lakukan untuk diri mereka sendiri serta menggantinya dengan campur tangan pemerintah dan penyediaan sumber. Hal ini pastimenghilangkan keswaspadaan yang telah mereka miliki dan mengubah mereka menjadi tergantung sepenuhnya pada pemerintah.
c. Kecenderungan pendekatan tersebut mengabaikan pembentukan kemampuan dan proses pembinaan institusi sehingga akan membahayakan kemampuan proyek untuk tumbuh dengan kekuatan sendiri. Proyek tersebut segera akan berakhir setelah campur tangan pemerintah dan bantuan pemerintah berakhir.
d. Karena sumber pembangunan publik (pemerintah) selalu langka, maka tanpa partisipasi rakyat jangkauan pelayanan pemerintah akan sangat terbatas. Pendekatan yang mengabaikan potensialitas partisipasi dan kontribusi rakyat terhadap pemberian pelayanan sosial dan fasilitas sosial akan membatasi kemampuannya untuk menjangkau mereka yang ada pada lapisan bawah dari piramida sosial.
e. Kecenderungan pendekatan cetak-biru dan atas-bawah untuk merumuskan proyek yang bersifat stereotipe dan seragam di samping ketidak pekaan mereka terhadap variasi-variasi daerah, mengurangi adaptabilitasnya terhadap situasi daerah. Akibatnya, terdapat kecocokan yang sangat kecil antara kebutuhan subyektif dan aspirasi masyarakat yang telah ada, dan sifat pelayanan yang diberikan mengakibatkan pemanfaatan sumber yang kurang serta mengakibatkan pemborosan sumber (Korten, 1981, pp. 182-183).
2. Pendekatan Pengelolaan Sumber yang Bertumpu pada Masyarakat terhadap Pembangunan Sosial.
Pendekatan pengelolaan sumber yang bertumpu pada masyarakat terhadap pembangunan sosial, menempati ujung yang lain dari kontinum tersebut. Pendekatan ini mencoba mengembangkan rasa keefektivan politis yang akan mengubah penerima pasif dan reaktif menjadi peserta aktif yang memberikan kontribusinya dalam proses pembangunan, warga yang aktif dan berkembang yang dapat turut serta dalam memilih isyu kemasyarakatan (Thomas, tanpa tahun). Kendatipun pendekatan pembangunan sosial ini memadai untuk meraih tujuan-tujuan sosial seperti dipaparkan dalam kategori kedua dan ketiga dari pengertian pembangunan sosial, namun juga dapat diterapkan pada kategori pertama pengertian pembangunan sosial seperti dibahas sebelumnya.
Ciri pokok pendekatan ini ialah (Korten, 1986):
a. Keputusan dan inisiatif untuk memenuhi kebutuhan rakyat dibuat di tingkat lokal, yang didalamnya rakyat memiliki identitas dan peranan yang dilakukan sebagai partisipan yang dihargai; b. Fokus utamanya adalah memperkuat kemampuan rakyat miskin dalam mengawasi dan mengarahkan aset-aset untuk memenuhi kebutuhan yang khas manurut daerah mereka sendiri.
c. Pendekatan ini mempunyai toleransi terhadap perbedaan dan karenanya mengakui arti penting pilihan nilai individual dan pembuatan keputusan yang terdistribusi.
d. Pendekatan ini mencapai tujuan pembangunan sosial melalui proses belajar sosial (social learning) yang dalam proses tersebut individu berinteraksi satu sama lain menembus batas-batas organisatoris, dan tuntutan oleh kesadaran kritis individual.
e. Budaya kelembagaan ditandai adanya organisasi yang mengatur diri sendiri dan lebih terdistribusi, yeng menandai unit-unit lokal yang mengelola diri sendiri, yang berinteraksi satu sama lain guna memberikan umpan balik pelaksanaan yang cepat dan kaya kepada semua tingkat organisasi yang membantu tindakan koreksi diri. Dengan demikian keseimbangan yang lebih baik antara struktur vertikal dan horisontal dapat diwujudkan.
f. Jaringan koalisi dan komunikasi pelaku (aktor) lokal dan unit-unit lokal yang mengelola diri sendiri, yang mencakup kelompok-kelompok penerima manfaat lokal, organisasi pelayanan daerah, pemerintah daerah, bank-bank pedesaan dan lain-lain akan menjadi basis tindakan-tindakan lokal yang diarahkan untuk memperkuat pengawasan lokal yang mempunyai dasar yang luas atas sumbersumber dan kemampuan lokal untuk mengelola sumber mereka.
3. Pendekatan Pembangunan Sosial dengan Melibatkan NGO (Non Governmental Organization).
Pendekatan ini mempertimbangkan keterlibatan struktur pembangunan daerah nonpemerintah dalam proses mencapai tujuan pembangunan sosial. Dengan demikian pendekatan ini telah mengintegrasikan satu ciri penting pendekatan pengelolaan sumber bertumpu pada masyarakat dalam pembangunan sosial. Namun, prinsip timbal balik yang memadai pendekatan pengelolaan sumber yang bertumpu pada masyarakat itu terlambat oleh peranan pemerintah yang dominan. Ciri utama pendekatan ini ialah:
a. NGO diberi kesempatan untuk melaksanakan rencana pembangunan sosial. Dalam proses pelaksanaan proyek tersebut, mereka mendorong rakyat untuk ikut serta dalam semua tahapan pelaksanaan, dari identifikasi masalah, perumusan dan pelaksanaan proyek juga pemeliharaan terus menerus proyek tersebut.
b. Rakyat yang ada dalam komunitas tersebut menjadi penggerak utama pelaksanaan proyek. Dengan melibatkan rakyat di dalam setiap tahapan aksi pembangunan, mereka akan terlibat dan bertanggung jawab demi kelangsungan proyek tersebut.
c. Di dalam pendekatan ini peranan pemerintah adalah:
1. Memperkanankan NGO melaksanakan proyek.
2. Menugasi NGO untuk bekerja di suatu proyek atau di kawasan yang belum dijangkau pemerintah. Sekali NGO itu diperkenankan, seterusnya dapat menjalankan proyek itu tanpa terlalu banyak campur tangan pemerintah.
d. Kerja sama antara pemerintah dan NGO-NGO dapat dilembagakan dengan mengundang wakil-wakil NGO menjadi anggota badan provinsi atau subprovinsi.
Dengan demikian, keberhasilan pembangunan sosial memerlukan sinergi tiga pihak yakni pemerintah, bisnis, dan masyarakat madani. Gunawan Sumodiningrat[5] memaparkan, fungsi pemerintah dalam pembangunan sosial adalah mengingatkan, melindungi, dan memfasilitasi. Sebenarnya, masyarakat yang paling berperan dalam pembangunan sosial. Menurut Gunawan, rakyat harus ikut merencanakan, melaksanakan, dan menikmati pembangunan. Karena, pembangunan sosial berfungsi menyetarakan kehidupan ekonomi masyarakat. [6]
Terkait dengan upaya pembangunan sosial, baik secara langsung maupun tidak langsung, haruslah disadari bahwa pembangunan sosial tidaklah harus dikembangkan tanpa melibatkan pembangunan fisik. Misalnya saja, untuk mengembangkan pola hidup sehat pada masyarakat, maka sekurang-kurangnya harus tersedia sarana dan prasarana yang terkait dengan aspek fisik, seperti penyediaan air bersih, saluran pembuangan, tempat-tempat sampah yang memadai, fasilitas MCK (Mandri Cuci Kakus), perangkat pembersih yang terkait dengan personal hygiene (seperti sabun, odol dan handuk), perumahan yang memadai. Meskipun demikian, pengembangan fasilitas fisik, tanpa disertai upaya memasyarakatkan pola hidup sehat, tidaklah berarti sama sekali bagi masyarakat. Sehingga tidak jarang dapat kita jumpai beberapa MCK yang berada di daerah kumuh yang pada akhirnya terbengkalai tidak digunakan oleh masyarakat karena tidak disertai proses penyadaran terhadap pentingnya menggunakan fasilitas MCK yang sehat.[7]
Intervensi yang dilakukan dalam kaitan dengan pembangunan sosial dalam contoh diatas, antara lain merupakan intervensi yang diarahkan pada munculnya perubahan pada aspek pengetahuan (knowledge), keyakinan (belief), sikap (attitute), dan niat individu (intention). Urutan perubahan dari perubahan pada aspek pengetahuan hingga niat individu tersebut merupakan proses penyadaran terhadap kelompok sasaran dalam kerangka pembangunan sosial. Sehingga ketika seseorang community worker ingin merubah perilaku sekelompok masyarakat dalam kaitan dengan personal hygiene (perawatan kesehatan diri), termasuk di dalamnya mandi, mencuci dan buang air besar (MCK), maka perubahan prilaku kelompok tersebut sebaiknya dimulai dari pengembangan pengetahuan, keyakinan, sikap dan niatindividu dalam kelompok tersebut. Sehingga pada akhirnya diharapkan akan mampu merubah perilaku individu dan kelompok untuk hidup lebih sehat.[8]
Guna merubah perilaku individu dan kelompok dalam suatu perubahan sosial ataupun pembangunan sosial dewasa ini, diperlukan adanya produk sosial (social product), community worker, maupun pembuat kebijakan) dituntut untuk melakukan penilaian (assessment) terhadap kebutuhan masyarakat secara berkesinambungan. Hal ini perlu dlakukan guna menciptakan produk sosial yang up-to-date. Produk sosial itu sendiri, menurut Kotler (1981) dapat dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu (1) gagasan (ideas); (2) praktek (practice); dan (3) bentuk yang nyata (tangible products).[9]
Contoh Program Nyata
Kiprah yang telah dilakukan dalam pembangunan sosial di Indonesia sudah cukup banyak baik yang dilakukan oleh LSM Muslim maupun pemerintah, diantaranya:
- Pembangunan sekolah gratis yang dilakukan Dompet Dhuafa Republika. Sekolah ini melakukan seleksi terhadap para pelajar yang mempunyai prestasi dari seluruh Indonesia, tetapi mereka berasal dari kelaurga kurang mampu atau tergolong mustahik.
- Bantuan cornet[10] oleh Rumah Zakat Indonesia kepada masyarakat yang kurang mampu. Hal ini bertujuan untuk memberikan layanan makanan bergizi kepada masyarakat yang kurang mampu.
- Bantuan kemanusiaan oleh Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU). Melalui kekuatan relawan PKPU terjun ke lokasi-lokasi bencana untuk memberikan bantuan dalam bentuk evakuasi korban, pendirian posko, bantuan logistik sampai pada bantuan recovery.
- Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang diiluncurkan oleh pemerintah diharapkan menjadi komitmen program jangka panjang. Kalau memang program ini bermanfaat bagi masyarakat, maka program ini perlu terus dijadikan unggulan. Berbagai catatan dan rekomendasi dari hasil evaluasi mesti dijadikan sebagai alat untuk melakukan pembenahan secara berkelanjutan. Jangan sampai karena programnya dirintis oleh pemerintah sekarang, pemerintahan baru mendatang tidak mau menjadikannya program unggulan. Padahal program ini begitu diperlukan oleh masyarakat.
Alternatif Stategi
Mengingat kondisi Indonesia yang begitu luas dan dinamika yang tinggi, maka berbagai alternatif yang telah diuraikan di atas tetap perlu dikombinasikan yakni Pembangunan Sosial melalui Individu, Pembangunan Sosial melalui Komunitas dan Pembangunan Sosial melalui Pemerintah (Social Development by Government), Pembangunan sosial melalui top-down dan buttom-up. Sehingga peran-peran yang telah dilakukan oleh masyarakat terus tumbuh dan berkembang. Begitu juga dengan pemerintah, dengan semakin besarnya dukungan pemerintah diharapkan jumlah masyarakat yang tersentuh oleh program pembangunan sosial semakin banyak.
Pembangunan top-down diperlukan untuk hal-hal tertentu yang sekiranya belum terjangkau oleh pemikiran daerah, seperti program-program pembangunan sosial yang memiliki dampak global contohnya agenda penyelamatan lingkungan dan lain-lain. Sedangkan program top-down perlu menjad prioritas karena hal ini secara riel dirumuskan oleh masyarakat. Tinggal bagaimana proses perencanaan itu bisa dilakukan secara partisipatif dan maksimal.
Kesimpulan dan Saran
Pembangunan Sosial dapat dilakukan dengan strategi melalui Individu, Komunitas dan Pemerintah. Pembangunan sosial juga dapat dilakukan secara top-down dan buttom-up. Kombinasi berbagai strategi itu perlu terus dikembangkan sehingga mampu menjawab berbagai tantangan yang ada di masyarakat.
———————–
DAFTAR PUSTAKA
- Edi Suharto, Pekerjaan Sosial dan Pembangunan Sosial, makalah Disampaikan dalam Diskusi Pendidikan Dasar HMI Cabang Bandung, 3 November 2002, sumber : http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_25.htm, diakses tgl 16 Januari 2009
- Adi, Isbandi Rukminto, 2003, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas, Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta, hal 49
- Haryono, Bambang Santoso, Prinsip dan Strategi Pembangunan Sosial dan Politik Dalam Perspektif Masyarakat Madani, Jurnal Ilmiah Adminstrasi Publik FIA Unibraw, Jurnal Vol. II, No. 1, September – Februari 2001, diakses tgl 16 Januari 2009, http://publik.brawijaya.ac.id
- ”Pembangunan Sosial Perlu Sinergi Tiga Pihak”, http://www2.kompas.com/ ver1/Ekonomi/0709/11/185531.htm, Kompas, Selasa, 11 September 2007
[1] Edi Suharto, Pekerjaan Sosial dan Pembangunan Sosial, makalah Disampaikan dalam Diskusi Pendidikan Dasar HMI Cabang Bandung, 3 November 2002, sumber : http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_25.htm, diakses tgl 16 Januari 2009
[2] Adi, Isbandi Rukminto, 2003, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas, Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta, hal 49
[3] Ibid
[4] Haryono, Bambang Santoso, Prinsip dan Strategi Pembangunan Sosial dan Politik Dalam Perspektif Masyarakat Madani, Jurnal Ilmiah Adminstrasi Publik FIA Unibraw, Jurnal Vol. II, No. 1, September – Februari 2001, diakses tgl 16 Januari 2009, http://publik.brawijaya.ac.id
[5] Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial, dalam op.cit, Pembangunan Sosial Perlu Sinergi Tiga Pihak, http://www2.kompas.com/ver1/Ekonomi/0709/11/185531.htm, Kompas, Selasa, 11 September 2007
[6] Anonim, Pembangunan Sosial Perlu Sinergi Tiga Pihak, http://www2.kompas.com/ ver1/Ekonomi/0709/11/185531.htm, Kompas, Selasa, 11 September 2007
[7] Hal 51
[8] Hal 51-52
[9] Hal 52
[10] Cornet adalah daging qurban yang telah dikemas