Oleh Efri S. Bahri
6 February 2004 00:00.
Kehadiran BMT di tengah UKM cukup dirasakan manfaatnya. Studi yang dilakukan Nurul Widyaningrum (2002) terhadap BMT Dampingan Yayasan Peramu Bogor menunjukkan ada empat kelebihan BMT, yakni: adanya kemudahan dalam prosedur, keringanan persyaratan, cepatnya pelayanan, dan sistem “jemput bola”. Berbeda dengan perbankan yang lebih mengutamakan nasabah ‘kakap’, prosedur relatif lama, dan keharusan adanya jaminan.
Hasil studi itu cukup menarik untuk disimak, karena ternyata alasan utama UKM menerima kehadiran BMT bukanlah karena sistem syariahnya. Studi ini menunjukkan bahwa mayoritas mitra ternyata belum terlalu memahami sistem syariah yang digunakan BMT. Sebanyak 61 responden (41 persen) menyatakan hanya tahu sedikit tentang sistem syariah, 71 responden (47 persen) menyatakan tidak tahu, dan hanya 18 (12 persen) yang menyatakan sudah tahu.
Seiring dengan hasil Komisi Fatwa MUI dalam Rakernas, 14-16 Desember 2003, yang menyatakan bahwa: bunga bank haram, maka para praktisi keuangan syariah termasuk BMT diharapkan mampu melakukan terobosan baru, sehingga fatwa ini dapat menjadi stimulan bagi pengembangan BMT.
BMT sebagai lembaga keuangan mikro berbasis grass root perlu secepatnya berbenah diri. Pertama, tidak semua nasabah BMT yang menjadi mitra karena alasan agama. Secara umum mereka tertarik karena adanya kemudahan layanan. Karenanya, sosialisasi sistem syariah yang mencakup konsep syariah dalam berekonomi, pengelolaan keuangan, konsep riba dan dampaknya, serta pemahaman terhadap produk-produk halal dan thayyib perlu diintensifkan, sehingga masyarakat merasakan keberkahan, keadilan dan keunggulan sistem syariah.
Kedua, peningkatan kompetensi pengelola. Pengelola BMT merupakan ujung tombak dalam pemberdayaan nasabah. Oleh karenanya, para pengelola mesti memiliki kapasitas yang memadai, mulai dari pemahaman konsep sistem ekonomi syariah sampai pada teknis operasionalnya. Peningkatan kompetensi ini dapat dilakukan melalui pelatihan yang mencakup aspek kemampuan teknis operasional dan manajemen.
Ketiga, melakukan pembinaan intensif. Dalam pandangan Islam, hubungan ekonomi tidak sekedar masalah hutang piutang, namun lebih dari itu adalah adanya aspek pendidikan. BMT dapat melakukan transformasi sosial masyarakat dengan terus melakukan pembinaan terhadap para nasabahnya.
Pembinaan kepada nasabah meliputi dua aspek. Pertama, aspek bisnis, yaitu bagaimana supaya nasabah mampu meningkatkan kinerja usahanya. Selanjutnya, pengelola BMT bisa menfasilitasi antar-nasabah untuk saling bekerjasama, bermitra, dan saling membesarkan. Kendati jenis usaha nasabah ada yang sama, pengelola mesti mampu menyakinkan bahwa antar-mereka bukanlah pesaing, tetapi mitra.
Kedua, aspek ruhi. Sebagai lembaga keuangan berbasis syariah, aspek ruhi yang mencakup nilai-nilai ke-Islaman, menjadi sangat penting. Satu kilogram sayur misalnya, tidak akan ditimbang menjadi 9 ons. Kejujuran ini akan menumbuhkan kepercayaan dan kepuasan para konsumen.
Baiknya kinerja BMT akan memberikan image yang positif bagi pengembangan keuangan syariah, sehingga pilihan nasabah terhadap BMT tidak sekadar adanya kemudahan dalam prosedur, cepatnya pelayanan, dan sistem “jemput bola”, namun lebih dari itu yaitu sistemnya yang sesuai dengan syariah Islam. Kita berharap semoga BMT mampu meningkatkan kesejahteraan dan melahirkan pengusaha yang bermoral dan profesional.