Jakarta – Memasuki tiga dekade dalam kurun waktu 10 tahunan perkembangan ekonomi syariah di Indonesia tahap demi tahapan dilalui dengan perjuangan yang gigih, dimulai tahun 90an dengan berkembangnya perbankan syariah, namun belum ada regulasi secara utuh mengaturnya. Kemudian di tahun 2.000-an industri keuangan syariah mulai bermunculan sebagai jawaban akibat krisis moneter yang melanda Indonesia.
Ditahun ini juga payung hukum industri keuangan syariah secara khusus dan non keuangan syariah pada umumnya mulai disahkan seperti Undang-undang dan Keputusan Menteri tentang pengelolaan zakat pada tahun 1999 sehingga pada tahun berikutnya bermunculan lembaga amil zakat.
Keputusan Menteri Keuangan Tahun 2003 tentang perizinan usaha, kelembagaan perusahaan asuransi dan reasuransi didalamnya memuat perusahaan asuransi boleh beroperasional secara syariah, Undang-undang wakaf dan badan wakaf Indonesia pada tahun 2004, Paket Peraturan Bapepam – LK terkait pasar modal syariah pada tahun 2006, peraturan pemerintah tahun 2007 terkait standar operasional manajemen koperasi jasa keuangan syariah dan pada tahun yang sama peraturan Bapepam – LK terkait akad yang digunakan perusahaan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, Undang-undang terkait perbankan syariah dan Undang-undang terkait Surat Berharga Syariah Negara pada tahun 2008.
Dari lahirnya Undang-undang dan peraturan tersebut diharapkan era tahun 2010-an keatas ekonomi dan keuangan Islam dapat menunjukkan keunggulan sistem operasional yang dijalankan dan memberikan kontribusi besar bagi perekonomian. Namun pada saat ini, masih dirasakan bahwa pertumbuhan industri keuangan syariah belum signifikan diantaranya dari sektor keuangan data market share perbankan syariah masih dibawah 5%, industri keuangan non bank syariah dimana industri Asuransi Syariah masih mendominasi jumlah market share mencapai 1,57%, diiikuti oleh Pembiayaan Syariah sebesar 1,31%. Sedangkan market share IKNB Syariah terkecil yakni Modal Ventura Syariah sebesar 0,03% (OJK, 2015), sektor sosial dari perolahan pengumpulan dana zakat dari seluruh lembaga zakat yang ada baru memperoleh Rp 4 Triliun masih jauh dari potensi zakat yang ada sebesar Rp 211 Triliun (Penelitian BAZNAS, IPB dan IDB).
Tahun 2015 menjadi tahun terberat perekonomian Indonesia dengan terjadinya perlambatan perekonomian sebagai dampak dari perekonomian global yang berimbas terhadap perekonomian Indonesia. Pertama, pengaruh stagnasi perkembangan ekonomi bagi Negara-negara yang melakukan hubungan bilateral dan multilateral dengan Indonesia yakni: perlambatan sektor riil Negara Tiongkok yang berpengaruh terhadap anjloknya harga komoditas di pasar Internasional. Kedua, pengaruh kemajuan perekonomian Amerika akibat dari kebijakan quantitative easing (pelonggaran kuantitatif), dimana Amerika melalui bank sentral – the federal Reserve mengeluarkan kebijakan dengan memberikan stimulus dan akhirnya perekonomian amerika membaik dan akhir tahun 2015 amerika melalui bank sentral membuat kebijakan baru dengan menaikkan tingkat suku bunga. Ketiga adalah pengaruh dari perbedaan arah kebijakan sektor keuangan di negara maju, seperti: Eropa dan Jepang menerapkan kebijakan stimulus sedangkan Amerika Serikat melakukan normalisasi. Faktor tersebut berimbas pada depresi mata uang rupiah dan perekonomi Indonesia dikarenakan pengaruh terhadap investasi dan neraca perdagangan Indonesia yang deficit sehingga berdampak pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya memperoleh 4.2% meleset dari prediksi pertumbuhan ekonomi di tahun 2015 diangka 5.7%.
Tahun 2016 perekonomian Indonesia akan mengalami permasalahan yang sama pada tahun sebelumnya. Namun, menurut penulis yakin bahwa tahun 2016 harus lebih baik bagi perekonomian Indonesia terutama dampak positif bagi ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia, kenapa? karena tahun 2016 merupakan tahun momentum bagi Indonesia untuk mengambil peran dikarenakan pada tahun depan Indonesia menjadi tuan rumah dalam acara World Islamic Economic Forum (WIEF). Disaat bersamaan Islamic Development Bank (IDB) mengadakan Annual Meeting, forum tersebut akan dihadiri oleh peserta bisnis dari seluruh dunia dan para peserta utama adalah negara-negara Islam yang memiliki dana banyak untuk diinvestasikan.
Trilogi Ekonomi Syariah
Maka pada kesempatan event tersebut diharapkan memberikan dampak bagi Indonesia. Dengan pendekatan dan fokus pengembangan tiga pilar ekonomi syariah dapat merangsang bagi investor luar negeri untuk berkontribusi besar bagi ekonomi dan keuangan Islam Indonesia. Pertama, pilar keuangan baik keuangan perbankan syariah dan industri keuangan non bank syariah. Dari sisi perbankan syariah perlu ada terobosan baru dalam hal terkait 1) infrastruktur IT dan e-banking, 2) kerjasama jaringan, 3) kapasitas pendanaan, 4) permodalan dan 5) peluang pengembangan bisnis terkait pengelompokkan bank umum (BUKU). Demikian juga industri keuangan non bank syariah yang ditopang dari asuransi syariah, Pasar modal syariah memiliki beberapa produk keuangan seperti saham syariah, sukuk, reksa dana syariah dan exchange traded fund (ETF).
Kita menyambut gembira karena secara kuantitasi institusi keuangan syariah mengalami pertumbuhan. Namun, satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah perlunya mendorong pemerintah untuk melahirkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Syariah yang lebih kuat dan berdaya khususnya Perbankan Syariah. Berbagai alternatif dapat dilakukan misalnya: penggabungan 15 unit usaha syariah (UUS) milik BPD, melakukan konversi terhadap salah satu BUMN Bank Konvensionl menjadi Bank Syariah, dimana UUS BPD bisa bergabung di dalamnya. Dalam hal ini persoalan permodalan, sumber daya manusia dan teknologi menjadi bisa terjawab. Apalagi terkait dengan penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) untuk sektor keungan yang akan dibuka pada tahun 2020. Artinya, menghadapi tantangan ini Indonesia harus melakukan langkah-langkah antisipasi dan tidak menunggu.
Kedua, pengembangan pilar selanjutnya adalah sektor riil yang mencakup Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang ditahun 2013 UMKM berjumlah 57,9 juta unit dengan 99,9% adalah usaha mikro berjumlah 57,8 juta unit dengan kontribusi PDB 36,9% dan Kontribusi penyedia lapangan pekerjaan sebanyak 88,9% (Kemenkop & UKM, 2013). Namun kendala yang dihadapi UMKM adalah masih terkait permodalan. Padahal saat ini terbuka peluang yang begitu besar dengan terjadinya booming terkait halal food, pariwisata syariah, fashion dan hiburan islami yang membuka peluang Indonesia menjadi kiblat busana muslim dunia.
Pengalaman ketika terjadi krisis ekonomi 1998 dimana sektor UMKM mampu bertahan sementara sektor yang lebih besar justru tumbang mestinya menjadi dasar bagi pemerintah untuk terus meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia pelaku UMKM. Apalagi menghadapi persaingan di era MEA, maka dibutuhkan ruang dan iklim kondusif bagi UMKM agar mereka memiliki motivasi yang tinggi untuk meningkatkan produktifitasnya. Dengan demikian kontribusi UMKM terhadap pembangunan semakin meningkat.
Ketiga, pengembangan pada pilar sektor sosial sebagai penopang dari pilar keuangan dan pilar sektor riil. Pilar sosial mencakup zakat, infaq dan wakaf (ZISWAF) yang peranannya didukung dari internal masyarakat Indonesia dan pemerintah Indonesia. Berdasarkan data yang dirilis oleh Ahmad Juwaini (Presiden Direktur Dompet Dhuafa) diambil dari berbagai sumber bahwa pengumpulan zakat dari berbagai lembaga zakat nasional dan badan amil zakat nasional (BAZNAS) tahun 2015 sebesar Rp 4,2 Triliun meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 31,2% atau Rp 3.2 Triliun, peningkatan sebesar 30% terjadi selama tiga tahun terakhir.
Namun peningkatan 30% masih jauh dari jumlah potensi zakat yang ada, padahal sudah ada Regulasi yang mendukung terkait zakat seperti PP No 14 Tahun 2014 yang membahas tentang komisioner BAZNAS dan KMA No 333 Tahun 2015 tentang LAZ dari berbagai level Kabupaten atau Kota, level propinsi dan level nasional bahkan undang-undang zakat tahun 2011 perlu dorongan yang kuat dari pemerintah dan sosialisasi yang intens serta program yang produktif agar masyarakat, lembaga dan institusi pemerintah bergerak untuk mengeluarkan zakat sehingga potensi yang diperkirakan tercapai dan mampu menopang perekonomian dengan pendayagunaan dana zakat.
Sesungguhnya keberhasilan institusi zakat bukan saja terletak pada pertumbuhan penghimpunan dana. Namun secara esensi sejauh mana institusi zakat mampu meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan mustahik dengan tujuan akhir menjadi muzakki. Tentu upaya ini tidak mudah, namun dengan semakin profesionalnya amil zakat diharapkan sisi pendayagunaan dan pemberdayaan mustahik ini dapat menjadi prioritas. Dengan demikian institusi zakat mampu menghasilan model mensejahterakan mustahik. Keberadaan model program ini menjadi kemestian khususnya ketika penghimpunan dana zakat mencapai titik optimal tentu model penyalurannya juga perlu terus dikembangkan.
Selain itu potensi dana sosial lainnya adalah wakaf baik wakaf tunai (uang) maupun wakaf tanah. Simulasi sederhana yang ambil dari pemikiran Mustafa Edwin Nasution dan penulis mengolahnya bahwa wakaf tunia prediksi mencapai Rp 9 Triliun pertahun. Dengan asumsi sederhana, sinergi dana wakaf uang, wakaf tanah dan zakat dapat digunakan untuk menopang masyarakat miskin yang bergerak disektor riil dan pembangunan infrastruktur seperti: pembangunan rumah susun. Dengan demikian menjadi lengkap jika klasifikasi dari struktur masyarakat yang terbagi dua dimana masyarakat miskin ditopang pilar sosial dan masyarakat menengah/ atas ditopang pilar sektor keuangan yang dananya bersumber dari para investor luar negeri.
Keberhasilan dari trilogi ekonomi syariah ini sangat ditentukan oleh sejauhmana ketiga pilar itu mampu berjalan secara sinergis. Pilar pertama mesti mampu dioptimalkan sebagai institusi intermediary. Pilar kedua perlu dipacu tingkat produktifitasnya agar mempunyai kemampuan dalam menyerap pembiayaan yang terus meningkat. Sedangkan pilar ketiga harus menjadi institusi yang amanah, profesional dan terpercaya di dalam memberdayakan mustahik sehingga mereka juga mampu menjadi pelaku ekonomi sektor riil. Semoga.
Penulis, Hendro Wibowo (Sekretaris DPP IAEI) dan Efri S. Bahri (Dosen STEI SEBI)