Ekonom asal AS, Nouriel Roubini, sebagaimana dikutip Ichsan Emrald Alamsyah dalam tulisan berjudul “Celah Masuk Ekonomi Syariah di AS” (Republika, 7/1/2014), mengatakan bahwa saat ini ada kebutuhan untuk mencari sistem yang lebih tangguh. Ia menuturkan, bahwa disaat kondisi yang melanda ekonomi AS, maka disitulah ekonomi syariah bisa masuk. Ekonomi syariah, menurutnya, memang lebih stabil dari keuangan konvensional. Bahkan, negara maju bisa belajar dari sistem syariah, ungkap Nouriel, sebagaimana dikutipaawsat.net, Ahad (5/1).
Dunia saat ini menyaksikan betapa rapuhnya perekonomian AS termasuk juga Eropa. Hal ini sebagaimana dijelaskan Herman (Harian Pelita, 11/1/2014) bahwa belum berakhirnya krisis yang menimpa kawasan Eropa mengindikasikan bahwa ekonomi yang selama ini dibangun belum mampu menyelesaikan persoalan ekonomi itu sendiri. Lahirnya sistem kapitalisme dan sosialisme pada zaman itu dianggap bisa menjawab semua problematika kehidupan manusia. Namun seiring perkembangan zaman, kedua sistem tersebut terus mengalami krisis kepercayaan dari para pengikutnya akibat tidak mampu memenuhi harapan masyarakat dalam memperoleh kesejahteraan.
Pernyataan Nouriel tersebut menjadi menarik untuk direspon karena ekonomi syariah bukan saja terkait dengan sebuah proses aktivitas ekonomi, namun yang lebih substansial adalah terkait dengan nilai-nilai. Terkait hal itu, Prof Dr KH Didin Hafidhuddin, dalam acara Talkshow Ekonomi Syariah di Masjid Al-Aqobah I Pusri Palembang Jumat (3/1/2014) menjelaskan ada beberapa keunggulan sistem ekonomi syariah dibandingkan dengan sistem ekonomi konvensional antara lain: dapat dilihat dari aspek bebas riba atau bunga, akad yang bervariasi sesuai dengan kebutuhan, adanya dewan pengawas syariah, produk yang dijamin halal, serta corporate culture yang sesuai dengan nilai-nilai Islami. (Media Indonesia, 6/1/2014)
Lebih lanjut Prof. Didin menekankan pentingnya pilar-pilar ekonomi syariah, yaitu sektor riil, sektor lembaga keuangan syariah dan sektor zakat, infaq dan sedekah. Ia mencontohkan masyarakat Turki yang mampu menggerakkan masyarakatnya sehingga mampu menjadi masyarakat yang mandiri dan unggul. Faktor pendukung utama lainnya dalam menyokong keberhasilan pembangunan Turki adalah masyarakat setempat yang membiasakan diri Shalat Subuh berjamaah di masjid.
Tidak diragukan lagi bahwa Islam mengakui ketidakmerataan ekonomi di kalangan anggota masyarakat. Tetapi perlu juga diingat bahwa Islam tidak membiarkan ketidakmerataan ini tumbuh dan berkembang luas. Islam berusaha semaksimal mungkin mengatasinya, agar perbedaan-perbedaan derajat ekonomi itu berada pada batas-batas alami yang serasi dan wajar. Dalam Islam, tingkat ketidakserasian dan ketidakwajaran ekonomi ini diatasi melalui mekanisme-mekanisme sebagaimana yang ada dalam ajaran Islam itu sendiri, misalnya zakat, infaq, shadaqoh, dan mekanisme-mekanisme lainnya.
Masih berkaitan dengan ketidakmerataan ekonomi ini, dalam pandangan Ahmad Ubaidillah (Suara Karya 8/1/2014), kitab Suci Al-Quran juga mengakuinya, sebagaimana yang tersebut dalam firman Allah berikut “Dan, Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu”. (QS Al-Anam [6] 165), atau misalnya, “Dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain”, (QS Al-Zukhruf [43) 32).
Jelas sekali disini bahwa keistimewaan ekonomi Islam menggambarkan betapa sempurnanya ajaran Islam itu sendiri. Sebagai agama universal, Islam telah mengatur semua aspek kehidupan manusia, mulai aspek politik, sosial, dan juga ekonomi. Islam telah memberi kerangka aturan agar tujuan politik, sosial dan ekonomi sejalan dengan tujuan syariah (maqasyid as-syariah). (Herman, Harian Pelita, 11/1/2014)
Pembelajaran Untuk Indonesia
Apa yang disampaikan Nouriel Roubini perlu menjadi catatan kita. Dalam hal ini, pada satu kondisi tertentu masyarakat dunia mesti menyadari bahwa kekuatan ekonomi suatu bangsa tidak terletak pada besarnya asset yang dimilikinya. Namun, kekuatan ekonomi suatu bangsa justru terletak pada sejauh mana masyarakat memperoleh keadilan secara ekonomi dan orang-orang miskin terjamin kebutuhan dasarnya.
Oleh karena itulah berbagai lembaga ekonomi syariah sangat berperan di dalam menangani kedua hal tersebut. Pertama, perbankan syariah dapat menjalankan peranannya di dalam mendukung operasi bisnis berbagai perusahaan. Kedua, lembaga pengelola zakat dapat menjalankan peranannya di dalam memberikan pelayanan kepada mustahik termasuk di dalamnya orang-orang miskin. Jadi jelas bahwa tidak akan ada pihak yang terlantar karena kedua sisi itu bergerak secara dinamis.
Agar kedua peranan itu dapat berjalan secara optimal, maka kedua lembaga ini akan lebih baik ketika fokus pada inti aktivitasnya. Perbankan fokus pada pembiayaan usaha sedangkan lembaga pengelola zakat fokus pada pelayanan mustahik. Dengan demikian peranan masing-masing ini bisa saling mengisi dan bersinergi. Namun, sebaliknya ketika perbankan juga masuk pada aktivitas lembaga pengelola zakat, maka peranannya menjadi kurang optimal.
Kita saksikan hari ini betapa keberadaan perbankan syariah di tanah air tidak terlalu kelihatan. Karena masing-masing berada pada posisi tidak strategis yakni: sebagai anak perusahaan atau sebagai unit usaha. Begitu juga keberadaan lembaga pengelola zakat yang ada di perbankan syariah, keberadaannya juga tidak optimal. Karena jelas baik dari sisi penghimpunan maupun pendayagunaan ZIS memiliki keterbatasan. Dari sisi branding saja sudah tercermin adanya pembatasan diri. Maka dalam kondisi dan posisi saat ini, lembaga pengelola zakat perlu meningkatkan sinergi dan koordinasi agar peranannya semakin kuat.
Meski kondisi saat ini belum pada tahap yang ideal, kita tetap bersyukur karena disaat kondisi ekonomi nasional tahun ini menunjukkan perlambatan, namun pertumbuhan perbankan syariah relatif masih cukup tinggi jika dibandingkan perbankan secara umum dan keuangan syariah global. Hal ini mengindikasikan eksistensi perbankan syariah nasional dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global yang mulai menjalar ke domestik.
Mulya E. Siregar, Asisten Gubernur Bank Indonesia dalam Seminar Akhir Tahun Perbankan Syariah 2013 mengatakan sampai Oktober 2013, pertumbuhan total aset perbankan syariah mencapai 31,8 persen year on year (yoy) atau lebih tinggi dibanding pertumbuhan aset perbankan nasional sebesar 18,2 persen. Artinya, menurut Mulya, Pertumbuhan perbankan syariah relatif lebih tinggi dibanding perbankan nasional dan global. Untuk mempertahankan pertumbuhan tersebut secara berkelanjutan, Bank Indonesia yang mulai 2014 fokus pada aspek makroprudential menelurkan arah kebijakan perbankan syariah. Secara umum, Bank Indonesia secara konsisten terus menjaga stabilitas perekonomian dan sistem keuangan agar struktur ekonomi menjadi lebih seimbang dan sehat. Sehingga menjadi pondasi kuat bagi transformasi ekonomi ke depan. (Info Bank, 5 Januari 2014)
Begitu juga dengan keberadaan lembaga pengelola zakat di tanah air yang semakin besar. Kita berharap lembaga-lembaga ini bisa bersinergi menghadap tantangan dalam pengentasan kemiskinan. Apalagi kalau kita membaca laporan terbaru BPS (Badan Pusat Statistik) tanggal 2 Januari 2014 dimana jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2013 bertambah 0,48 juta orang dibandingkan posisi Maret sebanyak 28,07 juta orang dimana keberadaannya tersebar di kawasan perkotaan sebanyak 10,63 juta orang dan pedesaan 17,92 juta orang, semestinya membuat kita berkaca sejauh mana keberadaan lembaga pengelola zakat ini efektif untuk memberikan pelayanan dan memberdayaan masyaraka miskin.
Temuan BPS menyebutkan setidaknya terdapat empat penyebab utama bertambahnya penduduk miskin Indonesia hanya dalam kurun waktu satu semester tersebut Pertama, meningkatnya orang miskin di Indonesia adalah akibat dari kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi pada Juni 2013. Kedua, karena inflasi cukup tinggi 5,02% karena kenaikan harga BBM. Ketiga, akibat harga eceran beberapa komoditas kebutuhan bahan pokok mengalami kenaikan cukup signifikan. Keempat, terakhir, pertambahan penduduk miskin di tanah air dipicu oleh tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang pada Agustus 2013 mencapai 6,2S%, dimana angka ini meningkat dibandingkan posisi tahun sebelumnya. (M. Fuad Nasar, “Menimbang Pendistribusian Zakat Secara Konsumtif, Tetap Perlu”, Media Indonesia, 6 Januari 2014)
Jadi, kalau pengamat AS saja sudah menyarankan agar AS mengaplikasikan sistem ekonomi syariah, maka negeri kita sudah semestinya menjadi contoh agar ketangguhan ekonomi syariah benar-benar teruji. Untuk itu, peran sumberdaya manusia yang bekerja dan beraktivitas di lembaga-lembaga ekonomi syariah perlu terus diperkuat. Salah satunya adalah dengan mengintegrasikannya kedalam sistem pendidikan nasional. Sesungguhnya lembaga-lembaga ekonomi syariah akan dapat tumbuh dan berkembang sejalan dengan kualitas dan integritas sumberdaya manusianya. Wallahua’lam bish shawab.
*) Penulis Efri Syamsul Bahri adalah Staf Pengajar STEI SEBI, Sawangan Depok Jawa Barat anKoordinator Forum Aktif Menulis (FAM) Jabodetabek. Karya tulis yang sudahditerbitkan antara lain Buku Hari-Hari Mahasiswa: Kiprah dan Agenda PergerakanMahasiswa (2003, 2013), Pemberdayaan Masyarakat: Konsep dan Aplikasi (2012), Zakat dan Pembangunan Sosial (2012). E-mail: efrisb@gmail.com
Artikel ini juga dimuat di http://www.sumbaronline.com/berita-18010-menguji-ketangguhan-ekonomi-syariah.html pada Selasa, 21 Januari 2014 – 12:08:37 WIB