Bagi Zaim dan Abdullah malam ini begitu menggembirakan. Buku-buku yang satu bulan lalu dipesan ke salah satu penerbit sudah sampai di rumah. “Trimakasih mi, udah beliin aku buku bagus”, kata Zaim dengan wajah berbinar. Tak ketinggalan Abdullah langsung nyeletuk, “aku juga mi, trimakasih dibeliin buku baru”. Kehadiran buku bagi Zaim (5,5 th) dan Abdullah (4,5 th) begitu berarti.
Buku adalah guru pembuka mata dunia dan akhirat. Banyak sekali pelajaran dan pengalaman yang kita dapati dari membaca buku. Tatkala kita membaca kisah perjalanan tokoh-tokoh terkemuka, kita akan dapati bagaimana cara orang tersebut berjuang memberi manfaat bagi dunia, bagi orang lain. Kisah sukses dan sedih, gagal dan berhasil akan menjadi cambuk untuk berbuat lebih dan lebih baik.
Dengan membaca berarti kita akan mendiskon umur. Artinya kita tak perlu mesti mengalami pahit getir yang dialamai seorang tokoh, tetapi kita akan dayagunakan strateginya untuk menghadapi pahit getirnya dunia sekarang. Membaca pada dasarnya bukan sekadar mengetahui sesuatu. Melalui membaca akan terjadi proses transfer of value sehingga dimungkinkan akan menjadi inner power bagi pembacanya.
Karena begitu penting dan bernilainya tradisi membaca diperlukan kepedulian bersama agar membaca menjadi gerakan nasional. Bisakah kita menjadikan tiada hari tanpa membaca. Bukan mustahil ini bisa terjadi. Kita bisa melakukan akselerasi dengan meningkatkan kepedulian dan partisipasi semua. Gerakan ini akan terwujud tatkala membaca sudah menjadi kebutuhan. Sebagaimana halnya makan. Ketika sesorang tak makan ia akan merasa lapar. Tatkala lapar tentu akan berusaha mencari dan memenuhinya. Begitu juga membaca, jiwa ini akan terasa tak seimbang tatkala tak sempat membaca.
Tetapi memang fakta yang seringkali melingkupi kita tatkala kita menyaksikan begitu mahalnya harga sebuah buku. Sehingga tidak semua orang bisa mengakses buku. Harga produksi dan distribusi yang begitu mahal telah mengakibatkan membengkaknya harga buku. Problem ini juga yang sering dialami anak-anak sekolah. Memang SPP anak sekolah sebagian besar sudah gratis, tetapi buku bagi mereka masih menjadi barang mahal. Problem ini tak bisa dibiarkan. Perlu adanya kebijakan yang pro terhadap pendidikan. Bisakah buku sebagai produk pendidikan diperoleh dengan harga murah. Sebagaimana halnya Amerika dan Eropa yang begitu tinggi komitmennya terhadap para petani. Sehingga subsidi terhadap petani begitu besar. Alangkah indahnya kita bisa mendapati dan membaca buku bekualitas setiap hari.
Untuk itu, kendati harga buku masih mahal tradisi membaca tidak harus berhenti. Tradisi membaca bisa kita mulai dari diri kita, dari keluarga kita. Lalu akan meluas menjadi tradisi masyarakat dan bangsa. Sehingga kehadiran buku yang menggembiraan Zaim dan Abdullah juga dapat menjadi budaya bersama. Ayo membaca untuk bangkitkan pendidikan Indonesia. Semoga. Wallahua’lam bishshowab. (Catatan yang masih tersimpan, ternyata udah 6 tahun lalu ditulis. Dan saat ini Bang Zaim sudah kelas 6 SD dan Bang Abdullah sudah kelas IV SD. Bogor, 2005)