Baru saja kita memasuki bulan Syawal dengan merayakan Idul Fitri. Idul Fitri dimaknai sebagai kembali pada kesucian (fitri) setelah selama satu bulan lamanya ditempa di bulan Ramadhan. Ramadhan sungguh memberi arti yang begitu mendalam bagi setiap insan yang beriman. Berbagai tempaan dan pembinaan telah kita lalu baik pembinaan jasmani maupun rohani. Ramadhan begitu nyata membina diri kita untuk menahan lapar dan haus. Sehingga kita mempunyai ketahanan fisik yang memadai karena tanpa makan tanpa minum selama seharian kita masih tetap bertahan.
Begitu juga secara rohani, kita diberikan pelajaran untuk merasakan bagaimana rasa lapar dan haus. Kalau kita merasakannya selama satu bulan, namun masih banyak saudara-saudara kita yang hari-harinya tidak makan, tidak minum karena kondisi mereka yang tidak mampu atau dalam keadaan fakir dan miskin. Ketika itulah, dalam setiap jiwa dan sanubari orang-orang beriman akan merasakan betapa perlunya kita menolong dan membantu saudara-saudara kita yang tidak mampu. Oleh karena itu, kembali pada fitri (suci) berarti kita kembali pada jiwa kemanusiaan kita yang hakiki yakni memiliki kepedulian terhadap sesama.
Kita patut bersyukur kepada Allah SWT karena telah diberikannya kesempatan yang begitu tak terhingga yakni: menjalankan ibadah selama Ramadhan. Ramadhan telah memberikan banyak pelajaran, salah satunya adalah tentang kepedulian. Pertama, kepedulian terhadap diri sendiri. Setiap diri tentu menyadari bahwa kelak akan dimintai pertanggungjawaban masing-masing tentang apa yang telah dilakukannya selama menjalani kehidupan di dunia. Ramadhan ternyata memberikan peringatan dini pada kita untuk senantiasa menghitung dan menimbang-nimbang posisi amalan dan kebaikan kita. Sejauhmana kita telah berbuat baik selama hidup kita. Penyadaran ini tentu akan memacu kita untuk terus berbuat yang terbaik guna meraih pahala dan rahmat Allah SWT. Sebaliknya, bagi orang-orang yang tidak mampu mengambil pelajaran dari Ramadhan, maka kita pun tidak akan terlihat melihat adanya perubahan kearah yang lebih baik pasca Ramadhan.
Kedua, kepedulian terhadap keluarga. Allah SWT berfirman “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Qs. At-Tahrim [66]:6). PerintahNya begitu jelas agar kita menyelamatkan keluarga kita dari api neraka. Ramadhan tentu telah menempa diri kita dan keluarga agar senantiasa meningkatkan amalan-amalan wajib dan sunnah. Disinilah letak jiwa kepedulian terhadap keluarga agar saling mengingatkan dan memotivasi untuk lebih baik.
Ketiga, kepedulian terhadap masyarakat. Banyak cara untuk peduli terhadap masyarakat. Prinsipnya adalah adanya saling berbagi baik berbagi rizki maupun pemikiran. Diantaranya adalah dengan menyalurkan zakat, infak, sedekah dan wakaf (ZISWAF) yang dapat digunakan untuk kepentingan ummat. Berbagai lembaga yang bekerja secara profesional dalam mengelola ZISWAF dapat menjadi mediator kita dalam mengokohkan kepedulian.
Yang penting adalah kepedulian tidak bisa dibuat-buat. Kepedulian merupakan sesuatu yang telah melekat dan menjiwai orang-orang beriman. Karena kepedulian itu tanpa pamrih. Cukuplah Allah SWT yang akan membalasnya. Kalau kepedulian itu dilakukan karena pamrih tertentu bagaimanakah caranya kita mempertanggungjawabkannya kepadaNya. Sungguh kita mendapat pelajaran berharga dari Ramadhan betapa pentingnya keikhlasan dalam kepedulian. Kalau kepedulian yang kita lakukan untuk mengharapkan pamrih tertentu, tentu kepedulian yang kita lakukan hanya menjadi semu semata. Wallahu a’lam bish shawab.
Penulis, Efri S. Bahri, SE., Ak., M.Si, Ketua Yayasan Mitra Peduli Indonesia, berdomisi di Bogor