Oleh: Efri S. Bahri, SE,.Ak,. M.Si
Dalam UU No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial disebutkan bahwa perlindungan sosial dimaksudkan untuk mencegah dan menangani resiko dari guncangan dan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok dan atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal.
Undang-Undang ini juga menjelaskan bahwa perlindungan sosial dilaksanakan melalui: bantuan sosial, advokasi sosial, dan/atau bantuan hukum. Bantuan sosial dimaksudkan agar seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang mengalami guncangan dan kerentanan sosial dapat tetap hidup secara wajar. Bantuan sosial bersifat sementara dan/atau berkelanjutan dalam bentuk: bantuan langsung, penyediaan aksesibilitas dan/atau penguatan kelembagaan.
Advokasi sosial dimaksudkan untuk melindungi dan membela seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang dilanggar haknya. Advokasi sosial sebagaimana diberikan dalam bentuk penyadaran hak dan kewajiban, pembelaan, dan pemenuhan hak. Bantuan hukum diselenggarakan untuk mewakili kepentingan warga negara yang menghadapi masalah hukum dalam pembelaan atas hak, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Bantuan hukum diberikan dalam bentuk pembelaan dan konsultasi hukum.
Dengan demikian berbagai permasalahan sosial semestinya dapat diselesaikan dengan bijak. Namun fakta bicara lain. Indonesia dengan jumlah penduduk Indonesia mencapai 237,6 juta jiwa dihadapkan dengan berbagai masalah sosial. Adanya permasalahan sosial tersebut, salah satunya bisa dilihat dari populasi miskin yang masih tinggi di negeri ini. Tahun 2010 BPS mencatat, angka kemiskinan di Indonesia sebesar 13,3 persen atau 31 juta orang yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Jumlah penduduk miskin Indonesia ternyata lebih banyak dari jumlah penduduk Malaysia yang berjumlah sekitar 28,9 juta orang. Begitu juga dengan jumlah pengangguran sebanyak 8,32 juta jiwa atau 7,14 persen. Masalah sosial ini semakin kompleks kalau ditambahkan lagi dengan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) seperti: gelandangan, pengemis, wanita tuna susila, orang dengan kecacatan, orang dengan HIV/ AIDS, komunitas adat terpencil, anak jalanan, pekerja anak, jompo telantar, dll.
Kompleksnya masalah sosial dapat menghambat kemajuan bangsa. Berbagai program pembangunan pun akan terganggu ketika masalah sosial tidak bisa diredam dan diatasi. Oleh karena itu, berbagai upaya pemecahan perlu dicarikan solusinya. Salah satu upaya untuk menyelesaikan persoalan ini adalah melalui perlindungan sosial. Dengan adanya perlindungan sosial, maka diharapkan tidak ada orang/ masyarakat yang tidak bisa memenuhi kebutuhan dasarnya.
Saat ini pemerintah pusat juga daerah mempunyai banyak program bantuan sosial. Sasaran bantuan sosial terlihat begitu fleksible karena sasarannya tidak fokus pada masyarakat golongan miskin. Banyak pihak yang mengakses bantuan sosial ini melalui yayasan-yayasan atau lembaga sejenisnya. Namun, sangat disayangkan kalau dana yang jumlahnya begitu besar tidak bisa difokuskan untuk memberikan perlindungan sosial. Sehingga angka kemiskinan sulit untuk beranjak turun.
Terkait dengan bantuan sosial ini, kita perlu menyambut baik upaya yang tengah dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Disebutkan bahwa KPK mendapati 10 temuan pada pengelolaan belanja bansos di pemerintah daerah. Atas temuan tersebut, KPK mendesak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk menyusun Pedoman Pengelolaan Belanja Bantuan Sosial. Menurut ,” ucap Juru Bicara KPK Johan Budi SP, temuan ini diperoleh berdasarkan kajian KPK yang dilakukan pada Januari 2011 sampai Maret 2011 terhadap kebijakan pengelolaan belanja bantuan sosial (bansos) di pemerintah daerah. Temuan KPK ini dibagi ke dalam dua aspek utama, yaitu regulasi (3 temuan) dan tatalaksana (7 temuan). Ketujuh temuan pada lingkup tata laksana terbagi pada proses penganggaran (2 temuan), penyaluran (2 temuan), serta pertanggungjawaban dan pengawasan (3 temuan). Dalam 3 tahun terakhir (2007-2010) pemerintah menganggarkan Rp300,94 triliun untuk bansos, yang terdiri atas Rp48,46 triliun di tingkat daerah dan Rp252,48 triliun di tingkat pusat. Sehingga penyaluran bansos harus selektif dengan menetapkan kriteria ketat, proses penyaluran yang transparan, dan pertanggungjawaban yang akuntabel.(lihat http://www.kpk.go.id) Upaya yang dilakukan KPK ini akan mendorong efektifitas dana APBN untuk pembangunan. Sehingga program-program bansos benar-benar bisa tepat sasaran.
Perlindungan sosial esensinya merupakan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat yang kurang beruntung secara ekonomi. Adanya perlindungan sosial ini menjadi stimulan bagi mereka untuk bisa bangkit, berkarya dan mandiri. Edi Suharto (2009:42) menyebutkan setidaknya ada tiga tujuan utama perlindungan sosial. Pertama, mencegah dan mengurangi resiko yang dialami manusia sehingga terhindar dari kesengsaraan yang parah dan berkepanjangan. Kedua, meningkatkan kemampuan kelompok-kelompok rentan dalam menghadapi dan keluar dari kemiskinan, kesengsaraan dan ketidaknyamanan sosial ekonomi. Ketiga, memungkinkan kelompok-kelompok miskin untuk memiliki standar hidup yang bermartabat sehingga kemiskinan tidak.
Dengan adanya berbagai jenis program perlindungan sosial, diharapkan berbagai masalah sosial bisa teratasi. Masyarakat yang sebelumnya bermasalah secara sosial semoga bisa bangkit dan mandiri. Dengan demikian mereka juga ikut berkontribusi dalam membangun bangsa ini menjadi semakin kuat dan mandiri. Adanya perlindungan sosial merupakan wujud tanggung jawab negara menyelesaikan berbagai masalah sosial yang mendera bangsa.
**Penulis, Efri S. Bahri, SE,.Ak,. M.Si, Staf Pengajar STEI SEBI, artikel dimuat di Radar Banjarmasin, tgl 29 Juni 2011