Tahun 2010 Indonesia mendapatkan kuota haji sebanyak 211 ribu jamaah. Hal ini berarti setiap tahun sekitar 10% dari penduduk Indonesia yang saat ini mencapai 237,6 juta jiwa berangkat menunaikan ibadah haji. Dengan kuota sebanyak itu BPIH memperoleh pendapatan sebesar Rp.6,9 triliun untuk periode 1 Maret 2010 s/d 31 Januari 2011. Dalam penyelenggaraan haji yang akan datang, pemerintah berupaya untuk menambah kuota hingga 258 ribu jamaah. Penambahan kuotta ini seyogyanya harus dibarengi dengan peningkatan kinerja Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Di dalam UU No. 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji disebutkan bahwa Penyelenggaraan Ibadah Haji adalah rangkaian kegiatan pengelolaan pelaksanaan Ibadah Haji yang meliputi pembinaan, pelayanan, dan perlindungan Jemaah Haji. Unddang-Undang ini juga menyatakan secara jelas bahwa Penyelenggaraan Ibadah Haji (PIH) dikelola langsung oleh Pemerintah secara nirlaba. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 bahwa Penyelenggaraan Ibadah Haji dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, profesionalitas, dan akuntabilitas dengan prinsip nirlaba. Selanjutnya pada pasal 3 ditegaskan juga bahwa Penyelenggaraan Ibadah Haji bertujuan untuk memberikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan yang sebaik-baiknya bagi Jemaah Haji sehingga Jemaah Haji dapat menunaikan ibadahnya sesuai dengan ketentuan ajaran agama Islam.
Upaya peningkatan kinerja PIH di tahun 2011 ini bisa dilaksanakan dengan memperhatikan berbagai rekomendasi baik dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun masyarakat. Tim Pengawas Haji DPR tahun 2010 lalu menyebutkan bahwa setidaknya ada tiga masalah pokok yang terjadi dan belum ada perbaikan dari tahun 2009 lalu. Pertama, masih adanya jamaah haji yang terlantar saat kedatangan, ada jamaah haji yang keracunan makanan katering serta keterlambatan pesawat hingga 23 kali. Calon jamaah yang terlantar sebanyak satu kloter yaitu sekitar 400 jemaah di Madinah. Hal ini dikarenakan kontrak pemondokan yang tidak jelas, menimbulkan jamaah haji terkatung-katung sampai 2×24 jam. Sepertinya ada kesengajaan untuk menjual maktab ring-1.
Kedua, adanya calon jamaah haji yang keracunan sebanyak 114 orang asal Solo. Keracunan disebabkan perusahaan katering kurang berpengalaman yang menyediakan makanan dalam keadaan basi. Apalagi perusahaan katering tersebut skalanya kecil dan tidak bisa melayani jemaah yang besar. Ketiga, adanya keterlambatan pesawat sebanyak 23 kali yaitu 10 kali keterlambatan kurang dari 4 jam dan 13 kali lebih dari 4 jam.
Dengan belum optimalnya PIH yang dilaksanakan oleh Pemerintah, maka kedepan sudah saatnya dilakukan perubahan. Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan. Pertama, adanya tuntutan profesionalisme dalam mengelola. Kedua, perlu adanya pemisahan antara peran pelaksanan dengan pengawas PIH. Ketiga, jumlah dana yang dikelola sangat besar mencapai Rp.6,9 triliun dan itu dilakukan secara berkesinambungan. Keempat, PIH adalah menyangkut martabat, nama baik dan citra bangsa di mata dunia internasional sehingga optimalisasi PIH menjadi keniscayaan.
Menjadikan PIH secara profesional mengandung konsekuensi UU No 13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji perlu direvisi. Selain itu juga perlu dibuat UU Pengelolaan Dana Haji nonbank. Revisi UU No. 13 Tahun 2008 khususnya terkait dengan Pasal 2 yang menyebutkan bahwa Penyelenggaraan Ibadah Haji dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, profesionalitas, dan akuntabilitas dengan prinsip nirlaba. Pasal ini secara jelas menyatakan prinsip nirlaba, sehingga tidak memungkinkan untuk penyelenggaraan secara profesional. Sementara RUU Keuangan Haji terkait dengan tata kelola dana haji yang mencapai triliunan.
Sehubungan dengan proses Revisi UU ini tidak bisa segera dilaksanakan, maka berbagai rekomendasi di atas perlu dilaksanakan segera sebagai upaya untuk mengoptimalkan penyelenggaraan haji. Sehingga jemaah haji semakin merasakan manfaat pelayanan yang ada. Wallahu a’lam.
Efri S. Bahri, SE., Ak., M.Si Dosen STEI SEBI, artikel dimuat di Radar Banjarmasin, tgl 23 Juni 2011