Oleh: Efri S Bahri, SE.Ak, M.Si
Dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 237,6 juta jiwa, berdasarkan data BPS saat ini 13,3 persen atau 31,6 juta orang tergolong miskin. Hal ini menunjukkan betapa tantangan bangsa ini kedepan semakin berat. Tantangan ini perlu dijawab dengan membuat grand desain untuk menjawab berbagai hambatan dalam penanganan kemiskinan. Dengan pola penanganan masalah kemiskinan saat ini yang melibatkan 19 Kementerian/ Lembaga perlu dilakukan evaluasi sejauh mana efektifitasnya
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai efektivitas anggaran negara dalam menurunkan angka kemiskinan pada 2005-2009 turun dibandingkan dengan periode yang sebelumnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan LIPI baru-baru ini, pada 2000-2004 setiap kenaikan 1 persen anggaran mampu menurunkan tingkat kemiskinan sekitar 0,4 persen sedangkan pada 2005-2009 kemampuan fiskal tersebut hanya 0,06 persen. Temuan LIPI tersebut didasarkan kepada kenaikan anggaran untuk pengentasan kemiskinan sebesar 394 persen dalam kurun waktu 2000-2009 dari sekitar Rp18 triliun menjadi sekitar Rp71 triliun. Adapun, tingkat kemiskinan berkurang dari 19,1 persen pada 2000 menjadi 14,2 persen pada 2009. Hal ini menjadi salah satu indikasi tidak efektifnya anggaran tersebut, walaupun setiap tahunnya meningkat.
Salah satu hal yang krusial dalam menyusun grand desain penanganan kemiskinan ini adalah terkait dengan data kemiskinan. Saat ini kita ketahui beberapa institusi memiliki standar yang berbeda dalam menentukan standar kemiskinan. Perbedaan di dalam menentukan standar kemiskinan akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam menyajikan jumlah total penduduk miskin. Menyikapi hal ini, diperlukan adanya penyamaan persepsi. Hal ini bisa saja dengan melahirkan regulasi baru dalam bentuk Undang-Undang. Sehingga data kemiskinan bisa menjadi riil. Dengan demikian berbagai program penanggulangan kemiskinan diharapkan bisa tepat sasaran.
Sesungguhnya bagi masyarakat yang terpenting adalah bagaimana hak-hal penduduk miskin bisa ditunaikan oleh negara. Sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 34 ayat 1 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Ketika negara menunaikan hak-hak penduduk miskin sebenarnya kita sedang merintis kemajuan dan kejayaan bangsa.
Pengalaman penanganan kemiskinan di Indonesia menunjukkan beragamnya pola penanganan kemiskinan. Pertama, pola top down. Pola seperti ini menganut pemusatan pada pengambil kebijakan. Masyarakat miskin dalam hal ini adalah sasaran program. Berbagai rumusan yang terkait penanganan kemiskinan disusun secara top down tanpa melibatkan masyarakat miskin.
Kedua, pola buttom-up. Pola seperti ini menerapkan partisipasi masyarakat miskin dalam penanganan kemiskinan mulai sejak perencanaan, pelaksaan, monitoring dan evaluasi. Artinya, masyarakat miskin terlibat pada setiap tahapan penanganan. Hal ini berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya masyarakat miskin mempunyai potensi untuk bangkit dari keetrpurukan. Yang diperlukan untuk mengakat harkat dan martabat mereka adalalah peran motivator, fasilitator, mediator dan pendampingan.
Ketiga, bisa saja mengkombinasikan antara kedua pendekatan tadi. Karena ada hal-hal yang efektif secara top down dan ada yang efektif secara buttom-up. Kombinasi kedua pendekatan ini juga bisa menselaraskan pencapaian pengananan kemiskinan. (http://www.hidayatullah.com. Jum’at, 25 Februari 2011.)
Penulis adalah dosen STEI SEBI dan Direktur Mitra Peduli Indonesia (MPI)