Sejak awal tahun 2006-2008 ini bencana banjir dan longsor terjadi di sejumlah daerah. Siklus 5 tahunan yang selama menjadi semacam mitos ternyata tak berlaku lagi. Banjir dan longsor sudah menjadi siklus tahunan bahkan bisa terjadi tiba-tiba. Musibah ini telah mengakibatkan terjadinya korban jiwa dan kerusakan lahan pertanian. Lahan pertanian yang sedianya menjadi sumber pangan bagi masyarakat, saat ini banyak yang hancur, terancam gagal panen (fuso). Akibatnya masyarakat terancam kekurangan pangan.
Kondisi ini terang saja akan menimbulkan dampak yang serius bagi masyarakat khususnya yang menjadi korban di daerah bencana. Apalagi sebelum terjadinya banjir dan longsor di sejumlah daerah, tercatat ada 100 daerah Kabupaten yang berada dalam kondisi rawan pangan. Salah satu bukti telah terjadinya rawan pangan itu adalah tingginya penderita busung lapar. Pada tahun 2005 terdapat 1,67 juta jiwa anak Indonesia sedang menderita busung lapar.
Pada tahun 2005, kasus busung lapar melanda NTB dan NTT. Di NTB terdapat balita sebanyak 49.000 orang. Menurut Menkes, per 5 Juni 2005 tercatat korban busung lapar di NTB berjumlah 655 korban, 13 diantaranya meninggal dunia.
Di NTT dari jumlah balita sebanyak 463.370 orang, 51.547 orang dalam kondisi gizi kurang dan 10.897 orang dalam kondisi gizi buruk. Di NTT, per awal Juni 2005 terdapat 119 kasus busung lapar yang tersebar di 12 kabupaten/kota. Jumlah tersebut terdiri dari 113 penderita marasmus (kekurangan karbohidrat), 5 orang penderita kwashiorkor (kekurangan protein), dan 1 orang penderita marasmus-kwashiorkor.
Kasus yang menimpa NTB dan NTT juga terjadi di daerah lainnya seperti DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur juga tidak luput dari bencana busung lapar ini.
Kasus busung lapar (gizi buruk/marasmus-kwoshiorkor) disebabkan karena kekurangan gizi yang berat dan ini bukanlah penyakit yang datang mendadak, melainkan suatu proses yang sudah lama. Dimulai dari gizi ringan, sedang, sampai berat (gizi kurang). Masalah gizi kurang merupakan masalah utama negara-negara berpenghasilan rendah, termasuk Indonesia.
Hal ini tidak dapat dibiarkan begitu saja karena akan mempengaruhi masa depan generasi Indonesia. Bagaimana kita bisa bersaing dengan negara lain di era globalisasi dan pasar bebas yang sudah berlangsung sekarang ini jika generasi-generasi penerus bangsa kita berkualitas rendah karena gizi yang buruk.
Untuk itu, agar Indonesia dapat mencetak generasi-generasi bangsa yang tangguh, perlu segera dilakukan penanganan dan antisipasi terhadap gizi buruk yang merupakan awal dari rendahnya kualitas anak bangsa ini. Jadi, program-program yang dilakukan dalam menghadapi kasus gizi buruk sekarang ini tidak hanya dalam bentuk kuratif saja, tapi perlu dilakukan program-program preventif agar hal ini tidak terulang lagi.
Jadi, ancaman rawan pangan betul-betul luar biasa. Apalagi dengan terjadinya banjir dan longsor pada waktu yang tak bisa diduga, membuat kita harus lebih serius dalam mengatasi rawan pangan ini.
Peternakan dan Agro
MPI – Mitra Peduli Indonesia sebagai sebuah lembaga kemanusiaan berkesimpulan bahwa daerah-daerah yang relatif aman dan aman dari bencana banjir dan longsor mesti mampu dikelola dengan lestari sehingga mampu menopang daerah-daerah yang menjadi titik-titik rawan pangan.
Untuk itu, MPI berupaya berkontribusi dalam upaya mengatasi rawan pangan. Salah satunya dengan merintis Program Peternakan dan Agro (PPA). “Program ini bertujuan untuk memberikan inspirasi bagi masyarakat dalam mengoptimalkan potensi sumberdaya lokal yang ada”, ungkap Efri S. Bahri selaku Direktur Eksekutif MPI. Menurut Efri, potensi kita luar biasa, MPI dalam hal ini menggunakan pola “one village one product” dimana MPI bersama dengan masyarakat mengembangkan salah satu produk/komoditi unggulan. Sehingga kita berharap melalui program ini secara ekonomi pendapatan masyarakat meningkat dan secara program kita memiliki model pengembangan komoditi unggulan yang dapat ditumbuhkembangkan di lokasi yang lain sesuai dengan kondisi dan potensinya.
Sinergi
Dengan tingkat kebutuhan pangan yang begitu tinggi, maka diperlukan sinergi dengan berbagai stakeholders strategis. Karena esensi dari sinergi ini adalah dalam rangka mempercepat proses penyediaan pangan. Apalagi dengan bertubi-tubinya bencana melanda tanaha air, ancaman pangan selalui mengintai kita. Harapan kita jangan sampai terjadi kelangkaan pangan di negeri yang subur ini.(Efri S. Bahri, Direktur Eksekutif MPI – Mitra Peduli Indonesia)