Pasca tsunami 26 Desember 2004 bencana terus terjadi seperti: gempa, angin puting beliung, banjir, longsor, dll. Salah satu problem yang dialami korban bencana adalah bagaimana perekonomian mereka dapat pulih dalam waktu yang tidak terlalu lama. Tulisan ini mencoba mengelaborasi beberapa alternatif untuk memperkuat perekonomian dalam konteks penanganan bencana.
Secara umum, bantuan yang diberikan lembaga kemanusiaan untuk korban bencana terdiri dari food item dan non food item. Food item yakni bantuan dalam bentuk makanan seperti: beras, ikan, susu, kacang hijau, dll. Sedangkan, non footer (NFI) yaitu bantuan yang terdiri dari keperluan selain pangan seperti terpaulin, hygene kit, kain sarung, derijen, dll. Kedua,
Satu hal yang menjadi perhatian dalam kedua bentuk bantuan di atas adalah soal pengadaan. Bantuan NFI bisa diantisipasi dengan model contingency stock, dimana pengadaan stock bisa dilakukan jauh sebelum kejadian. Sehingga kita bisa menyebutnya dengan kesiapsiagaan. Walaupun NFI tahan lama, namun tetap dilakukan control dan maintenance. Sehingga ketika diperlukan kondisi stock dalam keadaan ready untuk didistribusikan.
Dalam hal ini terkait bantuan food item, jauh berbeda. Hal ini terkait dengan expired date yang tidak terlalu lama. Untuk itu, Lembaga Kemanusiaan dapat melakukan joint program dengan para distributor atau supplier. Secara umum para distributor atau supplier tentu mempunyai gudang di titik-titik strategis. Sehingga dropping food item bisa dilakukan kapan kita memerlukannya.
Terkait dengan perekonomian masyarakat, maka ada cara khusus yang bisa dilaksanakan oleh Lembaga Kemanusiaan, yakni dengan melakukan pembelian food item di warung-warung atau toko-toko di lokasi terjadinya bencana. Kalupun tidak ada, pembelian dilakukan di lokasi yang tidak terlalu jauh. Hal ini bertujuan agar uang (cash) bisa meredar di lokasi bencana. Sehingga perekonomian masyarakat dapat bergerak secara normal.
Model seperti ini tidak mudah dalam implementasinya. Karena sangat terkait dengan kebijakan distribusi bantuan Lembaga Kemanusiaan. Apalagi sebagian besar Lembaga Kemanusiaan menganut proses procurement sehingga pelaku ekonomi lokal di daerah bencana menjadi tidak diuntungkan. Proses pemulihan ekonomi pun menjadi lamban.
Namun bukan tidak bisa. Dengan memasukkan konteks berbasis sumberdaya lokal, sejogyanya problem di atas bisa diatasi. Sehingga sejak fase emergency pun kita bisa melakukan recovery ekonomi. Tentu dengan tekad dan keberpihakan para pimpinan Lembaga Kemanusiaan.
Penulis, Efri S. Bahri, Direktur MPI – Mitra Peduli Indonesia. E-mail: efrisb@gmail.com