Oleh: Efri S. Bahri, SE.Ak
Ada tiga kata kunci untuk mengukur kualitas manajemen zakat, yakni: amanah, profesional dan transparan. Bagaimana mengimpelementasikannya?
Potensi zakat di Indonesia sesungguhnya sangat besar. Bahkan sebuah penelitian memperkirakan potensi zakat di Indonesia sebesar Rp.7,5 triliun. Namun, kenyataannya, dana zakat ditambah dengan infak, shadaqah serta wakaf yang sudah berhasil dihimpun oleh Lembaga Pengelola Zakat (LPZ)2 baru berkisar Rp. 200 milyar pertahun. Itu artinya penghimpunan zakat baru mencapai 2.67 persen dari potensi yang ada. Tampaknya memang ada banyak hal yang harus dibenahi dalam pengelolaan zakat di Indonesia.
Ada beberapa hal yang memang masih menjadi persoalan dalam penghimpunan zakat. Diantaranya adalah pengelolaan zakat masih berciri tradisional. Biasanya amil zakat bukanlah sebuah profesi atau pekerjaan yang permanen. Amil zakat hanya ditunjuk ketika ada aktivitas pemungutan zakat fitrah. Sedangkan untuk pungutan zakat harta biasanya dilakukan oleh pengurus masjid. Dengan sistem pengelolaan yang masih terbatas dan tradisional itu, sulit untuk mengetahui berapa sebenarnya jumlah zakat yang telah dihimpun.
Manajemen zakat yang baik adalah suatu keniscayaan. Dalam Undang-Undang (UU) No.38 Tahun 1999 dinyatakan bahwa “Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat”. Agar LPZ dapat berdaya guna, maka pengelolaan atau manajemennya harus berjalan dengan baik.
Kualitas manajemen suatu organisasi pengelola zakat (Widodo, 2003) harus dapat diukur. Untuk itu, ada tiga kata kunci yang dapat dijadikan sebagai alat ukurnya. Pertama, amanah. Sifat amanah merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh setiap amil zakat. Tanpa adanya sifat ini, hancurlah semua sitem yang dibangun. Kedua, sikap profesional. Sifat amanah belumlah cukup. Harus diimbangi dengan profesionalitas pengelolaannya. Ketiga, transparan. Dengan transparannya pengelolaan zakat, maka kita menciptakan suatu sistem kontrol yang baik, karena tidak hanya melibatkan pihak intern organisasi saja, tetapi juga akan melibatkan pihak eksternal. Dan dengan transparansi inilah rasa curiga dan ketidakpercayaan masyarakat akan dapat diminimalisasi.
Ketiga kata kunci ini dapat diimplementasikan apabila didukung oleh penerapan prinsip-prinsip operasionalnya. Prinsip-prinsip operasionalisasi LPZ antara lain. Pertama, kita harus melihat aspek kelembagaan. Dari aspek kelembagaan, sebuah LPZ seharusnya memperhatikan berbagai faktor, yaitu : visi dan misi, kedudukan dan sifat lembaga, legalitas dan struktur organisasi, aliansi strategis.
Kedua, aspek sumber daya manusia (SDM). SDM merupakan aset yang paling berharga. Sehingga pemilihan siapa yang akan menjadi amil zakat harus dilakukan dengan hati-hati. Untuk itu perlu diperhatikan faktor perubahan paradigma bahwa amil zakat adalah sebuah profesi dengan kualifikasi SDM yang khusus.
Ketiga, aspek sistem pengelolaan. LPZ harus memiliki sistem pengelolaan yang baik, unsur-unsur yang harus diperhatikan adalah : LPZ harus memiliki sistem, prosedur dan aturan yang jelas; manajemen terbuka; mempunyai activity plan; mempunyai lending commite; memiliki sistem akuntansi dan manajemen keuangan; diaudit; publikasi; perbaikan terus menerus.
Setelah prinsip-prinsip operasional kita pahami, kita melangkah lebih jauh untuk mengetahui bagaimana agar pengelolaan zakat dapat berjalan optimal. Untuk itu, perlu dilakukan sinergi dengan berbagai stakeholder. Pertama, para pembayar zakat (muzaki). Jika LPZ ingin eksis, maka ia harus mampu membangun kepercayaan para muzaki. Banyak cara yang bisa digunakan untuk mecapainya, antara lain: memberikan progress report berkala, mengundang muzaki ke tempat mustahik, selalu menjalin komunikasi melalui media cetak, silaturahmi, dan lain-lain. Kedua, para amil. Amil adalah faktor kunci keberhasilan LPZ. Untuk itu, LPZ harus mampu merekrut para amil yang amanah dan profesional. Setelah itu, LPZ juga harus mampu mendesain sistem operasional yang memberikan kesempatan kepada para amil untuk berkembang dan berkarya. Sehingga menjadi amil betul-betul merupakan sebuah pilihan dan pengabdian kepada Allah SWT. Para amil dalam bekerja harus meletakkan prinsip-prinsip seperti: ikhlas, sabah, amanah, jujur dan inovatif. Disamping itu, sistem operasional LPZ juga mesti mengakomodasikan kebutuhan para amil. Sehingga para amil dapat memberikan karyanya secara maksimal di dalam membangun LPZ.
Ketiga, pengambil kebijakan. Kebijakan dalam konteks kenegaraan juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan LPZ. Dengan adanya peraturan seperti UU, maka LPZ akan dapat bergerak secara legal. Sehingga LPZ mempunyai landasan yang cukup kuat dalam mengelola zakat. Lain halnya ketiga belum ada konstitusi yang mengatur, sehingga gerak dan langkah LPZ menjadi begitu terbatas.
Keempat, media massa. Media merupakan penyambung lidah. Dengan begitu banyaknya oplah media diharapkan jangkauan sosialisasi kepada masyarakat akan semakin luas. Oleh karenanya LPZ mesti mampu menjalin kerjasama yang berkenjutan dengan media massa. Sehingga tidak adalagi jarak antara LPZ dengan masyarakat.
Wallahu’alam Bishshawab.
[1] Versi awal dimuat di Republika Senin, 23 Februari 2004
[2] Lembaga Pengelola Zakat terdiri dari Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan Badan Amil Zakat (BAZ). LAZ didirikan atas inisiatif masyarakat. Sedangkan BAZ didirikan oleh pemerintah.
Dimuat di Republika, 23 Februari 2004